Rabu, 14 September 2011

Sejarah Marga Halawa


SEJARAH PERKEMBANGAN
KETURUNAN MARGA HALAWA
DI ÖRI ONOTACHI - MANIAMÖLÖ




PENDAHULUAN

Salah satu syair “hoho” dalam masyarakat Nias di bagian Selatan adalah kisah Salawa Hölia (Penguasa Bumi), yaitu suatu kisah yang menceritakan asal muasal orang Nias dari seorang Penguasa Bumi di Teteholi Ana’a (suatu tempat di negeri kayangan). Salah satu bait syairnya, sebagai berikut:

Idada raya Hia,
Idada löu Gözö,
Idada Ho ba Ndroi Gidö,
Ya’ia börö zanatulö!

[Diturunkannya Hia di bagian selatan,
Diturunkannya Gözö di bagian utara,
Diturunkannya Ho di sungai Gidö,
Dialah sumber pendamai!]

Selanjutnya, menurut legenda yang berkembang di Nias bagian Selatan ada 3 (tiga) orang laki-laki keturunan Ho (Ho adalah salah satu anak dari Hia) dari Nias Tengah meninggalkan orang tuanya dan pergi berkelana ke arah Selatan. Ketiga anak itu bernama Mölö, Zinö, dan Lalu. Kemudian dari nama-nama mereka inilah muncul 3 (tiga) öri di Nias bagian Selatan. Mölö tinggal dan menetap di daerah Maenamölö, Zinö tinggal dan menetap di daerah Mazinö, dan Lalu tinggal dan menetap di daerah Ono Lalu.
Mölö yang menurut versi Gomo bernama Sadawamölö tinggal dan menetap di daerah Maenamölö memiliki 5 (lima) orang anak laki-laki, yaitu: Takhi, Fau, Maha, Hondrö, dan Boto. Mereka menyebar di sekitar Hili Onotakhi, Orahili Fau, Siwalawa, Onohondrö, Botohösi, dan lain sebagainya. Keturunan Takhi adalah marga Waoma dan Dachi, keturunan Fau adalah marga Fau, Wau, Manaö, keturunan Maha adalah marga Sarumaha, keturunan Hondrö adalah marga Hondrö dan keturunan Boto tidak diketahui sampai sekarang.
Apakah yang dimaksud dengan kata “öri” ? Dalam catatan sejarah, pada masa pemerintahan kolonial Jepang yaitu sekitar tahun 1942, daerah yang dihuni oleh keturunan Ho di Nias bagian Selatan dibagi dalam 8 (delapan) öri, yaitu:
1. Öri Maenamölö I
2. Öri Maenamölö II
3. Öri Fau I
4. Öri Fau II
5. Öri Sarumaha
6. Öri Mazinö
7. Öri OnoLalu
8. Öri To'ene Asi
Kata “öri” berasal dari nama sebuah benda yang menyerupai gelang dan terbuat dari sejenis loyang / logam serta kalau diperhatikan secara seksama tidak akan pernah kelihatan persambungannya. Konon, gelang tersebut pada mulanya diperoleh dari seekor babi hutan yang sudah tua (Sökha so’öri = babi hutan bergelang, artinya babi hutan yang sudah sangat tua). Menurut legenda yang berkembang öri tersebut merupakan pemberian bela (sejenis makhluk halus penguasa hutan) dengan tujuan agar babi hutan tersebut memiliki kekebalan terhadap berbagai jenis senjata sehingga sangatlah sulit untuk diburu oleh manusia. Pada sökha so’öri gelang tersebut terletak pada jungurnya, yaitu pada taring sebelah bawah, dan diganjal taring sebelah atas sehingga tidak mudah jatuh. Apabila öri tersebut masih berada / lengket di badan seekor babi hutan, maka babi hutan tersebut menjadi kebal terhadap berbagai macam jenis senjata berburu, seperti: pisau, tombak, panah, dan lain sebagainya dan bahkan babi hutan tersebut dapat menghilang. Biasanya same’asu (pemburu babi hutan), apabila hendak menangkap babi hutan tersebut, mereka menggunakan jaring yang dibawa sewaktu berburu. Apabila sökha so’öri sudah masuk dalam jaring sebagai perangkapnya, barulah öri tersebut dilepaskan. Tentu dengan lepasnya öri dari badan sökha so’öri maka kekebalan tubuhnya praktis tidak ada lagi dan sökha so’öri tersebut dapat dibunuh. Anehnya, kemanapun sökha so’öri ini pergi, ia selalu dikawal beberapa ekor babi hutan yang pada umumnya memiliki taring panjang dan runcing. Bila sökha so’öri mau berkubang, babi hutan pengawalnya mengelilingi lokasi sekitar kubangan, dan bila telah dirasa aman maka öri yang dimililiki oleh sökha so’öri itu disangkutkan pada suatu tunggul batang pohon.
Sebagai tambahan, perlu disampaikan bahwa asal muasal Kalabubu (kalung dalam tari perang suku Nias) adalah öri sebagai lambang kesaktian dan kekebalan. Kalabubu selalu dipergunakan sebagai penghalang kelewang musuh pada saat musuh hendak menebas leher. Dengan memakai kalabubu diharapkan kelewang musuh mental dan tidak mampu menebas leher.


Gambar 1 : Kalabubu

Perkembangan selanjutnya öri dijadikan sebagai sebutan untuk suatu wilayah kekuasaan. Dengan demikian maka öri adalah sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Tuhenöri (Kepala öri, atau dapat disebut sebagai Kepala Negeri). Wilayah öri terdiri dari beberapa kampung (banua). Setiap banua dipimpin oleh seorang Balö Si’ulu (Balo = ujung, puncak, ; Si’ulu = kasta tertinggi masyarakat Nias Selatan).
Dalam setiap öri yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat, terdapat perangkat-perangkatnya sebagai berikut:
1. Sanuhe (asal kata: Tuhe): Sanaru’õ / Samesindro, yaitu orang atau keturunan yang mendirikan komunitas masyarakat itu.
2. Tambalina yang merupakan wakil dari Sanuhe. Dalam beberapa kasus berperan sebagai oposisi pemerintahan.
3. Si’ila (= yang mengetahui), yaitu juru bicara adat.
4. Ono Mbanua (masyarakat), yaitu penduduk yang menempati daerah tersebut.
Setiap banua yang merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum adat juga, terdapat kasta-kasta masyarakat sebagai berikut:
1. Si’ulu, yaitu bangsawan atau pemimpin tertinggi dalam suatu komunitas masyarakat dan keturunannya.
2. Si’ila, yaitu cendekiawan atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai adat-istiadat
3. Sato, yaitu masyarakat biasa.
4. Sawuyu, yaitu tawanan dari kampung lain atau orang yang dijadikan budak.
Mengacu pada hal ini,maka secara filosofi tujuan hidup masyarakat Nias khususnya masyarakat di Nias bagian Selatan adalah: Memiliki kemuliaan (perwujudan si’ulu), ilmu pengetahuan (perwujudan si’ila), anak/keturunan (perwujudan sato), dan kekayaan (perwujudan sawuyu), atau dalam bahasa aslinya: Lakhömi (kemuliaan), Fa’onekhe (kepintaran), Ono (anak), dan Harato (harta). Keempat pilar inilah yang secara simbolis biasanya diwujudkan pada keempat tiang utama dalam setiap rumah adat Nias bagian Selatan.
Struktur öri masih bertahan sampai masa pemerintahan Republik Indonesia. Namun, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara yang pada saat itu dijabat oleh putera Nias yang bernama Pendeta Roost Telaumbanua, Nomor 222/V/GSU, tanggal 24 Juli 1965, komunitas masyarakat yang disebut öri dihapus dan banua diganti menjadi desa. Walaupun demikian, dalam tatanan masyarakat Nias di bagian Selatan öri tersebut masih eksis khususnya dalam ihwal adat-istiadat.
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa Mölö dan keturunannya hidup di daerah Öri Maenamölö. Sebagai akibat perkembangan kekuasaan dan adat istiadat masing-masing komunitas, maka keturunan Tachi (sekarang disebut Dachi) memproklamirkan daerahnya sebagai daerah Maniamölö sehingga ketika terjadi pemekaran Kecamatan Teluk Dalam, maka daerah Onotachi diberikan nama sebagai kecamatan Maniamölö.


KERAJAAN ONOTACHI

Tachi mempunyai anak 9 (dua) orang. Anak pertama dan kedua adalah seorang laki-laki. Faoma merupakan anak pertama, yang ketika ayahnya menanyakan kepadanya “Kepada siapakah nama Tachi diberikan ?” Lalu ia menjawab “Faoma manö, Ama” (= sama saja, ayah). Berdasarkan jawaban itu maka ayahnya yang bernama Tachi memberi namanya “Faoma” dan kepada anak ke-2 dia beri nama “Tachi”. Anak ketiga juga seorang laki-laki yang namanya tidak diketahui, namun keturunannya hingga saat ini tetap menggunakan marga Dachi. Anak ke-4 bernama “Gari”, yang setelah dewasa merantau ke daerah To’ene. Anak ke-5 dan ke-6 adalah puteri. Anak ke-7 bernama “Waya” yang setelah dewasa merantau ke Pulau Tello. Anak ke-8 dan ke-9 adalah puteri.
Setelah Tachi meningal dunia, maka Faoma diangkat oleh rakyat menjadi Balö Si’ulu dan didirikanlah kerajaan di puncak Gunung Hiliamaigila yang pada saat itu dikenal sebagai Hili Onotachi. Di pihak lain, Kerajaan Fau pun berkembang. Kedua kerajaan ini selalu berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaannya baik Kerajaan Onotachi maupun Kerajaan Fau. Akibatnya kedua kerajaan ini saling menyerang dan terjadilah perang yang pada masa itu tidak pernah berkesudahan. Masing-masing ingin menjadi penguasa daerah yang ditinggalkan oleh kakek mereka Mölö.
Suatu saat, terjadilah perdamaian antara kedua kerajaan ini di Zumali (dekat desa Onohondrö sekarang). Perdamaian itu dilaksanakan dalam suatu acara yang disebut Fondrakö (acara adat terbesar suku Nias). Dalam kesepakatan itu, pembagian harta kakek mereka yang bernama Mölö adalah sebagai berikut:
1. Pembagian wilayah kerajaan. Diletakkan 2 (dua) buah batu besar (daro-daro) di puncak gunung Hiliamaigila atau 100 depa dari pintu gerbang (bawagöli) desa Lahusa Fau sekarang sebagai titik perbatasan (gola danö). Kemudian ditarik garis lurus ke arah laut dan di sisi yang lain ditarik garis lurus menuju daerah Aramö (garis tersebut mengikuti jalan matahari). Setelah itu ditetapkanlah bahwa sebelah Timur merupakan daerah Fau dan di sebelah Barat merupakan daerah Faoma.
2. Harta emas, ¼ untuk Faoma dan ¾ untuk Fau
3. Harta berupa tanaman dan bangunan-bangunan Mölö disahkan menjadi hak milik Fau di daerah Fau dan hak milik Faoma di daerah Faoma
4. Ternak dibagi 2 sama banyak
5. Seni budaya:
a. Faoma menjadi pemilik sah: timbangan emas (fanulo gana’a) dan alat pengukuran besarnya seekor babi (afore)
b. Fau menjadi pemilik sah: alat ukur jumlah padi/beras (tumba) dan aramba (gendang)
Fondrakö adalah suatu acara musyawarah dari tokoh-tokoh adat untuk menetapkan hukum tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dan bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi adat. Asal muasal Fondrakö di seluruh kepulauan Nias pada hakekatnya berasal dari Fondrakö Börönadu sebagai Fondrakö tertinggi di Pulau Nias. Bila suatu komunitas masyarakat Nias melanggar Fondrakö maka akan terjadi bala seperti berjangkitnya berbagai jenis penyakit pada manusia, hewan ternak dan tanaman, bencana alam, atau peperangan.
Sakralnya pelaksanaan Fondrakö tersebut dapat diketahui dari syair hoho sebagai berikut:
Ya’afatö vaha zanawö
Ya’aetu mbagi zanerogö
Ya’asila dödö ba ya’aboto dalu zonönö
Ya’aeru vaha ba ya’asila hulu zanalösi
Ba sanosilö’ögö ya löna mowa’a, ya löna molehe, yalöna mona’ötö,
ya mate löna lewatö, ba ya taiha manö mae sau

(Patah paha yang melanggar
Putus leher yang tidak memperdulikan
Pecah jantung dan pecah perut yang menambah
Mengecil paha dan terbelah punggung yang mengurangi
Dan yang mengabaikan: ia tidak akan berakar, tidak akan bertunas, tidak akan memiliki keturunan, apabila mati dia tidak akan memiliki kuburan dan dia akan hilang seperti hilangnya embun tak berbekas)

Materi yang dibahas dalam suatu acara Fondrakö, antara lain:
1) Huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut tubuh manusia).
2) Huku sifakhai ba gokhöta (hukum yang menyangkut harta kekayaan)
3) Huku sifakhai ba rorogöfö sumange (hukum yang menyangkut etika).
4) Huku sifakhai ba wa’auri niha (hukum yang menyangkut proses kehidupan yang terdiri dari: lahir, kawin, mati).
5) Huku sifakhai ba halöwö (hukum yang menyangkut pekerjaan dan pemerintahan).
Setelah Fondrakö yang diselenggarakan di Hili Amaigila atau Hili Onotachi ditetapkan, maka keputusan-keputusan Fondrakö menjadi hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian maka seluruh rakyat di daerah Maenamölö hidup dalam keadaan aman, tertib dan dapat mencari nafkah serta melakukan kegiatan sehari-hari tanpa dibayang-bayangi oleh serangan musuh yang biasanya mendadak.


Gambar 2 : Pintu Gerbang Perkampungan Hilisimaetanö


PERJUANGAN TUHA TOHÖNAVANAETU DACHI HALAWA

Beberapa tahun kemudian ketenangan dan ketenteraman itu terusik dengan datangnya suatu gerombolan perompak yang disebut “bekhua” (=hantu besar) dipimpin oleh seorang yang sangat sakti bernama Fanambai yang berasal dari daerah Bugis. Gerombolan perompak yang merupakan pelaut ini berjumlah sekitar 70 orang. Para pelaut ini datang dengan menggunakan perahu layar dan mendarat di pantai sekitar Onaya kemudian pindah ke daerah Luahagundre (Lagundri sekarang) dan menetap di daerah sekitar muara sungai Fadou. Para pelaut ini memiliki badan yang tinggi, kekar, tegap-tegap dan memiliki ilmu kekebalan terhadap berbagai jenis senjata. Siapa yang mereka temui mereka bunuh dan hartanya dirampok. Apabila yang mereka temui adalah wanita (baik yang sudah kawin maupun belum) mereka memperkosa wanita itu lalu mereka bunuh. Perlawanan yang dilakukan oleh penduduk asli tidaklah berarti karena para perompak ini memiliki postur tubuh yang jauh lebih besar dan memiliki kesaktian. Selain itu Fanambai sebagai pimpinan gerombolan selalu dikawal oleh seekor binatang sejenis harimau yang dalam bahasa Niasnya disebut Harimao. Binatang ini sangat ganas sehingga tidaklah jarang harimao ini turut membunuh dan mayat manusia yang telah dibunuhnya dimakannya. Akhirnya penduduk asli menjadi sangat ketakutan. Oleh karena itu penduduk asli merasa tidak nyaman dan secara terus-menerus dibayangi-dibayangi rasa ketakutan. Hal ini berlangsung selama hampir 2 (dua) tahun lamanya.
Sementara itu di daerah lain di Nias Tengah atau tepatnya di Öri Huruna, hiduplah keturunan Halawa (Halawa adalah salah satu anak dari Ho). Salah satu keturunan Halawa tersebut bernama Tohönavanaetu Halawa dan sering disingkat Tohalawa atau Dohalawa. Ketika Tohönavanaetu Halawa berumur 60 tahun, ia pergi menjelajah untuk mencari nago safusi (rusa / kijang berwarna putih) karena disuruh oleh ayahnya sebagai makanan yang akan disantapnya menjelang ajalnya tiba. Selain dia ada juga saudaranya bernama Lakoya melakukan hal yang sama, namun Lakoya Halawa menuju daerah Nias bagian Barat sedangkan Tohönavanaetu Halawa menuju daerah Nias bagian Selatan. Konon ada juga saudaranya yang menuju Nias bagian Utara dan kawin di sana sehingga menjadi nenek moyang marga Baeha dan ada juga yang menuju Nias Tengah yang menjadi nenek moyang marga Baene.
Dalam penjelajahan Tohönavanaetu Halawa, suatu saat ia tiba di perkampungan masyarakat Faoma di Hili Onotachi atau Hiliamaigila sekarang. Atas kedatangannya itu, Siulu Faoma menceritakan kepada Tohönavanaetu Halawa bahwa ada gerombolan perompak dari Bugis yang mengganggu keamanan dan menyengsarakan rakyat Maenamölö bernama Fanambai. Siulu Faoma meminta kesediaan Tohönavanaetu Halawa untuk berperang melawan gerombolan Fanambai. Tohönavanaetu Halawa pun bersedia namun dengan beberapa persyaratan yang harus disepakati.
Akhirnya Siulu Faoma dan Tohönavanaetu Halawa membuat kesepakatan bahwa apabila Tohönavanaetu Halawa dapat menumpas gerombolan Fanambai, maka:
1. Tohönavanaetu Halawa diterima menjadi keluarga Faoma
2. Semua kekuasaan dan hak milik Faoma menjadi kekuasaan dan hal milik Tohönavanaetu Halawa
3. Putri bungsu Faoma (berumur 14 tahun dan merupakan anak kesayangan Faoma) dijadikan isteri Tohönavanaetu Halawa.
Akhirnya selama 2 (dua) tahun lamanya Tohönavanaetu Halawa berperang untuk membasmi gerombolan Fanambai sebanyak 70 orang dan berhasil. Sebagai perjuangan terakhir, Tohönavanaetu Halawa membunuh Fanambai (pimpinan perompak) di Hinako disaksikan langsung oleh saudaranya Lakoya Halawa. Walaupun demikian, masih ada 1 (satu) ekor harimao yang melarikan diri ke tengah hutan belantara ketika Fanambai dibunuh. Tohönavanaetu Halawa pun mencari harimao yang lari ke tengah hutan belantara namun tidaklah ditemukan dan akhirnya dibiarkan.
Atas kemenangan itu, dipukullah gendang di Hinako yang konon suara gendang itu terdengar sampai di Hili Onotachi sehingga rakyat Maenamölö tahu bahwa Tohönavanaetu Halawa telah mampu menghabisi gerombolan Fanambai. Tak lama berselang, datanglah Tohönavanaetu Halawa ke Hili Onotachi dengan membawa kepala (binu) Fanambai yang diikat pada pinggangnya, dilengketkan pada pedang yang digunakan untuk membunuh Fanambai. Inilah asal muasal gagang pedang di daerah Onotachi dilengkapi dengan rago ifö yang dipasang pada saembu (sarung pedang) yang bermakna sebagai “pengganti” kepala Fanambai.


Gambar 3 : Rago ifö yang disangkutkan pada pedang suku Nias

Atas keberhasilan itu, maka Tohönavanaetu Halawa itu diberikan gelar “Tuha” sehingga namanya menjadi Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa atau Tuha Tohalawa Dachi atau Tuha Dohalawa Dachi. Sejak saat itu, Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa menjadi Raja Onotachi, sedangkan anak-anak Tachi bertugas sebagai Ere (imam dalam agama kuno Nias dan dukun). Oleh sebab itu, hingga saat ini marga Dachi asli (bukan keturunan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa) sering juga disebut Na’ötö Gere (keturunan imam / tabib).
Selama kepemimpinan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa, masyarakat Onotachi hidup dalam keadaan aman dan damai. Roda kehidupan masyarakat berjalan nomal kembali. Namun, beberapa tahun kemudian, secara mendadak pada malam hari perkampungan Hili Onotachi di Hiliamaigila dibakar oleh rakyat Kerajaan Fau. Serangan yang bersifat mendadak itu membuat Kerajaan Onotachi menjadi kacau balau dan tidak sempat mengadakan perlawanan. Pemerintahan dan kehidupan masyarakat lumpuh total. Tohönavanaetu Dachi Halawa pun akhirnya membawa rakyatnya mengungsi ke Bawö. Di dalam pengungsian, masyarakat Kerajaan Onotachi hidup sekedarnya dengan mengolah tanah di Bawö. Semakin lama kebutuhan mereka tidak lagi mencukupi dan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa dan keluarganya yang biasa hidup berkelimpahan akhirnya tidak dapat bertahan hidup di Bawö. Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa bersama isterinya yang sedang mengandung dan kedua mertuanya pindah ke Taro’o Zi’o. Di Taro’o Zi’o, Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa selalu mengintip perahu atau kapal laut yang lewat di tengah lautan dan bila ditemukan kapal lewat dia membajaknya dan menangkap penumpangnya serta merampas barang-barang bawaan kapal itu. Itulah cara Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa hidup dan menghidupi keluarganya yaitu dengan cara merampok kapal yang lewat dan penumpang kapal ditawannya serta dijadikannya budak.
Selama 4 (empat) bulan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa tinggal di Taro’o Zi’o, lahirlah anaknya yang pertama seorang laki-laki dan diberi nama Taliwu Ndraha Dachi Halawa. Ketika kelahiran anak raja mereka dan keberadaan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa terdengar rakyat Onotachi di Bawö, maka spontan seluruh rakyat yang ada di Bawö pindah ke Taro’o Zi’o. Delapan tahun kemudian, lahirlah anak ke-2 Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa yaitu seorang putera dan diberi nama Taihöwa Dachi Halawa. Di Taro’o Zi’o itulah kedua mertua Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa meninggal karena sudah lanjut usia.
Setelah Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa berumur sekitar 80 tahun ia mengalami sakit-sakitan, lalu ia meminta kepada isteri dan anak-anaknya supaya diizinkan meninjau isteri-isterinya dan anak-anaknya yang dia tinggalkan di seluruh kepulauan Nias dan kemudian ia pulang ke daerah asalnya. Selain itu dia meninggalkan pesan bahwa masih ada pekerjaannya yang belum tuntas yaitu menangkap dan membunuh harimao. Setelah diizinkan, berangkatlah Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa namun sampai akhir hayatnya dia tidak pernah kembali di Taro’o Zi’o.


Gambar 4 : Maluaya (tari perang suku Nias)



Gambar 5 : Mogaele (tarian dayang-dayang
puteri suku Nias)


KETURUNAN TUHA TOHÖNAVANAETU DACHI HALAWA

Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan bahwa Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa memiliki 2 (dua) putera yaitu Taliwu Ndraha Dachi Halawa dan Taihöwa Dachi Halawa. Setelah dewasa, Taliwu Ndraha Dachi Halawa menikah dengan seorang gadis penduduk Botohösi yang bukan keturunan Si’ulu sehingga walaupun dia merupakan anak sulung dia dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin menggantikan ayahnya. Di lain pihak, adeknya yang dianggap layak menjadi pengganti ayahnya yaitu Taihöwa Dachi Halawa masih berumur 11 tahun. Selain itu Taihöwa Dachi Halawa menderita penyakit menahun dan tak kunjung sembuh. Penyakit yang dideritanya adalah sejenis penyakit kulit (dermatitis) yang menyebabkan kulitnya busuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Dalam keadaan demikian maka warga Onotachi seakan berada dalam situasi “vacum of power” (tidak memiliki pemimpin). Keadaan ini dimanfaatkan oleh rakyat Fau untuk menyerang Taro’o Zi’o sehingga seluruh daerah Kerajaan Onotachi menjadi takluk di bawah kekuasaan Raja Fau. Isteri Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa ditawan dan kemudian dikawinkan kepada Si’ulu Turemba’a dengan bayaran sejumlah emas sehingga kejadian ini menjadi olokan bagi Raja Fau dengan istilah “ifamawa ndrona zondrona böli gönia ana’a” (dia menjual isteri orang untuk mendapatkan emas). Runtuhlah Kerajaan Onotachi dan seluruh penduduknya dibawa sebagai tawanan di Botohösi atau Luaha Gomo yang sekarang.
Taihöwa Dachi Halawa diusir dan akhirnya ia mencoba bertahan hidup dengan mendirikan pondok-pondok di sekitar pinggiran sungai Neho (dekat Botohösi). Namun, karena takut dibunuh maka Taihöwa Dachi Halawa berpindah-pindah tempat melalui hutan belantara sehingga pada akhirnya sampailah ia di Nanöwa dan disanalah ia menetap dan bertani serta memelihara ternak.
Aneh bin ajaib, setelah 9 (sembilan) tahun lamanya Taihöwa Dachi Halawa menetap di Nanöwa, oleh pertolongan Tuhan, penyakitnya menjadi sembuh, hasil pertanian dan peternakannya melimpah ruah, kemudian ia meminang puteri dari keluarga ibunya di kampung Sondrekha Tanö. Sewaktu ia memperkenalkan diri, calon mertuanya belum menerima begitu saja bahwa ia adalah benar-benar anak dari Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa. Untuk membuktikan bahwa ia memang benar anak dari Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa ia harus bertemu dengan ayahnya dan kalau ayahnya sudah meninggal ia harus mengetahui dimana kuburannya. Akhirnya ia bersama tunangannya dan ditemani beberapa orang pergi mencari ayahnya dan dia menemukan kuburan ayahnya di Nias Tengah. Di sana dia menemukan banyak saudara-saudaranya sesama marga Halawa. Dia menceritakan bahwa ayahnya merupakan Raja Onotachi yang seluruh wilayahnya saat ini telah dikuasai oleh Raja Fau dan dia berniat balas dendam serta berniat menghidupkan kembali kerajaan Onotachi. Saudara-saudaranya pun siap untuk membantu guna memulihkan kembali bekas kerajaan Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa. Setelah mereka pulang, barulah ia direstui untuk menikahi puteri pamannya itu.
Akhirnya dengan semangat yang membara, Taihöwa Dachi Halawa mulai melancarkan serangan untuk mengambil kembali kerajaan Onotachi yang pernah dipimpin oleh ayahnya Tuha Tohönavanaetu Dachi Halawa. Dalam perjuangannya itu selain didampingi oleh rakyat Onotachi dia juga dibantu oleh saudara-saudaranya dari Nias Tengah. Puncaknya adalah ketika ia menang berkelahi dengan 7 (tujuh) orang anak Raja Fau dan membunuh Raja Fau dengan pedang di Geho (Lahusa Sisarahili / dekat Hilinamazihönö sekarang). Pada saat di Geho inilah lahir anaknya yang pertama yang dia beri nama Lahembaewa Dachi Halawa (putera) yang artinya “jejak belut” sebagai kenangan perjalanan hidupnya yang seperti belut dan susah ditangkap sampai dia berhasil mengembalikan kejayaan Kerajaan Onotachi.
Setelah menguasai kembali kerajaan Onotachi, Taihöwa Dachi Halawa mengumpulkan kembali rakyatnya dari Taro’o Zi’o. Atas keberanian dan kebesaran Taihöwa Dachi Halawa tersebut maka rakyat Onotachi beserta abangnya Taliwu Ndraha Dachi Halawa memberikan gelar “Tuha” kepadanya dengan nama Tuha Farökha.
Setelah beberapa tahun memerintah, lahirlah puteri Taihöwa Dachi Halawa yang bernama Lai ana’a. Sayangnya puterinya ini hilang dari pangkuan ibunya (nihalö ba hagita) pada saat sedang menyusui. Waktu itu ibunya menyusui Lai Ana’a tepat di bawah “lawa-lawa” (bagian atap rumah yang terbuka sebagai sumber cahaya matahari ke dalam rumah). Oleh sebab itu sampai sekarang ibu-ibu di daerah ini dilarang menyusui anaknya tepat di bawah bagian atap yang terbuka (böi finu nonou itahö lawa-lawa = jangan menyusui anak tepat di bawah lawa-lawa). Anehnya, Lai Ana’a tidak hilang begitu saja. Konon Lai Ana’a diambil oleh penguasa langit dan sebagai gantinya turunlah hujan emas (emas murni) sebagai mahar Lai Ana’a. Setelah dihitung maka jumlah emas yang diturunkan itu adalah 69 batu (paun) yang lazim disebut “Sara ambö Fitunafulu” (1 kurang 70). Inilah asal muasal mahar seorang gadis keturunan Si’ulu di daerah ini sebesar 1 kurang 70 paun.
Anak ke-3 dari Taihöwa Dachi Halawa bernama Baatu Ra adalah seorang putera yang setelah dewasa dia menghentakkan kakinya ke tanah (ibörö danö) dan pergi merantau ke luar Pulau Nias sehingga sampai saat ini tidak diketahui lagi keturunannya. Walaupun demikian, ada beberapa orang di Kepulauan Mentawai yang mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Pulau Nias yang bermarga Dohalawa bernama Tahewa (suatu nama yang mirip dengan Taihöwa).
Dengan demikian maka Taihöwa Dachi Halawa memiliki 3 (tiga) orang anak, yaitu :
1. Lahembaewa Dachi Halawa gelar Tuha Sondrege Tanö
2. Lai Ana’a Dachi Halawa (puteri)
3. Baatu Ra Dachi Halawa gelar Tuha Samörö Tanö
Untuk mempertahankan kerajaan Onotachi, Lahembaewa Dachi Halawa dilatih oleh ayahnya Taihöwa Dachi Halawa untuk menguasai ilmu bela diri dan agar memiliki kesaktian sehingga Lahembaewa Dachi Halawa menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, pemberani dan sangat disegani bukan hanya di Kerajaan Onotachi tetapi juga di daerah Kerajaan Fau dan Kerajaan Hondrö di Botohösi apalagi ia merupakan Putera Makhota Kerajaan Onotachi.
Akibatnya Lahembaewa Dachi Halawa menjadi sombong dan sering berbuat sesuka hatinya. Dia bahkan mengeluarkan ultimatum bahwa seluruh gadis yang cantik di Kerajaan Botohösi dan di Kerajaan Fau tidak boleh kawin dengan orang lain karena harus menjadi isterinya. Dengan demikian maka Lahembaewa Dachi Halawa memiliki banyak isteri yang setiap hari dipaksa mengolah tanah (bertani) dan kemanapun ia pergi harus ditandu oleh isteri-isterinya secara bergantian termasuk ketika ia pergi berburu ke hutan yang merupakan kegemarannya. Ironisnya, atas perilakunya tersebut ayahnya Taihöwa Dachi Halawa tidak pernah menegur apalagi melarangnya.
Suatu hari, untuk menyenangkan ayahnya Taihöwa Dachi Halawa yang sudah tua Lahembaewa Dachi Halawa pergi berburu ke tengah hutan untuk mencari harimao pengawal setia Fanambai musuh bebuyutan kakeknya Tohönavanaetu Dachi Halawa. Setelah beberapa hari berburu di tengah hutan rimba, akhirnya Lahembaewa Dachi Halawa menemukan Harimao tersebut dan dia tidak membunuh harimao itu dengan tombak atau pedang tetapi Lahembaewa Dachi Halawa berkelahi secara langsung dengan harimao tersebut sekaligus untuk membuktikan kehebatan dan kesaktiannya. Perkelahian berlangsung sengit dan akhirnya Lahembaewa Dachi Halawa memenangkan perkelahian dan membawa harimao tersebut kepada ayahnya dalam keadaan hidup.


Gambar 6 : Kelompok masyarakat suku Nias simöi malu / sialu
(yang hendak berburu ke hutan)

Keberanian dan kesaktian Lahembaewa Dachi Halawa inilah yang dijadikan lambang keberanian dan ketangkasan Onotachi. Ketika harimao tersebut sampai di istana, beberapa pemuda disuruh mengikat harimao tersebut di atas tandu dan mengusung tinggi-tinggi sambil berkeliling kampung. Inilah yang merupakan cikal bakal “Famadaya Harimao” (upacara pengusungan harimao) di Kerajaan Onotachi yang dilakukan setiap 7 tahun sekali sebagai bagian dari Upacara Fondrakö. Acara Famadaya Harimao dilakukan untuk mengenang kembali keperkasaan nenek moyang marga Dachi yang bernama Lahembaewa Dachi Halawa.


Gambar 7 : Duplikat binatang sejenis harimao

Famadaya Harimao awalnya adalah sebuah tradisi yang dilakukan untuk memberi semangat prajurit berperang. Namun, seiring pergantian waktu nilai sakral dan makna upacara berkurang. Satu di antara penyebabnya adalah perkembangan agama Kristen yang pesat di daerah yang dulunya merupakan kerajaan ini.
Mengapa di Kerajaan Onotachi mereka tidak mengenal prosesi “Famatö Harimao” ? Untuk diketahui bahwa harimao yang telah ditangkap hidup-hidup oleh Lahembaewa Dachi Halawa dikandang dan dipelihara di lingkungan istana. Ketika tiba waktunya “Fondrakö”, harimao tersebut dibawa dengan ditandu ke tempat berlangsungnya acara Fondrakö (suatu acara untuk menyusun, menambah, mengurangi, atau meninjau kembali hukum adat yang dilakukan setiap 7 tahun sekali). Setiba di sana, salah satu materi pembahasan yang dilakukan adalah mau diapakan Harimao tersebut. Dalam rapat tersebut banyak usulan yang disampaikan, di antaranya: tetap dipelihara, dikembalikan ke tengah hutan, bergantian memeliharanya, dibunuh dan dijadikan santapan, dan lain-lain. Akhirnya sebagian besar peserta rapat menyetujui agar harimao tersebut dipenggal lehernya dan tulang-belulangnya dipatah-patahkan kemudian dibuang sebagai simbol “buang sial”. Dalam kondisi demikian, kepalanyalah yang masih utuh. Dari sini lahirlah kebiasaan “Famatö Harimao” (acara mematah-matahkan harimao) yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh rakyat Fau karena rakyat Onotachi yang mengusungnya dan rakyat Faulah yang mematahkannya. Sejak kejadian ini, maka setiap “Fondrakö” selalu diakhiri dengan acara “Famatö Harimao” yaitu mematah-matahkan duplikat harimao yang dibuat dari kayu sebagai simbol “buang sial”. Itulah asal usul makanya di Kerajaan Onotachi tidak dikenal “Famatö Harimao” tetapi yang dikenal adalah “Famadaya Harimao”.
Selain itu, bentuk kepala harimao yang masih utuh inilah yang menjadi cikal bakal dari bentuk “ndrana mbelewa gari” (gagang kelewang) di daerah ini karena binatang tersebut dianggap sakti sehingga apabila gagang kelewang dibentuk/diukir menyerupai kepala binatang ‘harimao’ maka kelewang tersebut memiliki tuah atau memiliki kesaktian.
Kendati demikian, Famadaya Harimao tetap menunjukkan identitas diri marga Dachi sebagai keturunan ahli-ahli perang. Upacara ini sekaligus menunjukkan bahwa perang menjadi tema besar dalam pemikiran komunitas marga Dachi yang desa tradisional terakhirnya adalah Hilisimaetanö. Tak heran jika Kerajaan Onotachi termasuk sebuah kerajaan yang sangat disegani di Nias bagian Selatan, bahkan pada saat orang-orang Jerman mendarat di Pulau Nias mereka mengenal 2 (dua) tempat yang dianggap sebagai pusat pemerintahan di Kepulauan Nias, yaitu Gunungsitoli yang disebut sebagai ibukota Nias bagian Utara dan Hilisimaetanö sebagai ibukota Nias bagian Selatan. Di kedua tempat inilah untuk pertama kalinya didirikan berbagai sarana sosial seperti Rumah Sakit Umum dan sekolah sebagai tempat pendidikan. Sejak terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia, desa Hilisimaetanö merupakan desa yang terbanyak penduduknya di Pulau Nias, namun saat ini desa besar Hilisimaetanö tersebut telah dimekarkan menjadi 9 (sembilan) desa pada Pemerintahan Defenitif pertama Kabupaten Nias Selatan.
Perkawinan resmi Lahembaewa Dachi Halawa adalah ketika ia memperisterikan anak keturunan Si’ulu di Lahusa Fau. Dalam perkawinannya ini, ia memperoleh anak yang dia beri nama Lahemböwö Dachi Halawa yaitu seorang putera yang lahir di Kampung Hili Mbaewa atau di daerah Taro’o Zi’o (di antara kampung Hilimbulawa dengan Amandraya sekarang). Nama perkampungan Lahembaewa ini merupakan pemberian Lahembaewa Dachi Halawa setelah ayahnya Taihöwa Dachi Halawa meninggal karena di perkampungan inilah dulunya dia memindahkan rakyatnya dari kampung Geho. Tragisnya, Lahembaewa Dachi Halawa meninggal karena dia dibunuh oleh para selirnya yang banyak dengan cara dia dibakar dalam api besar yang menyala-nyala.
Kerajaan ini selanjutnya dipimpin oleh Lahemböwö Dachi Halawa yang telah menikah di kampung Hili Oföna Luo. Karena kondisi alam di sekitar Lahembaewa tidak lagi mendukung, maka Lahemböwö Dachi Halawa memindahkan rakyatnya di sekitar daerah Fao’e yang sekarang dan perkampungan itu dia beri nama Hili Lowalani.
Di Hili Lowalani lahir 3 (tiga) putera Lahemböwö Dachi Halawa, yaitu:
1. Lataögö Dachi Halawa
2. Sawuamböwö Dachi Halawa
3. Wa’atuha Dachi Halawa (Tuha Ilawa Luo)
Pada suatu saat, ketika anak-anak Lahemböwö Dachi Halawa masih kecil-kecil perkampungan Onotachi di Hili Lowalani diserang oleh Kerajaan Fau dan peperangan itu dimenangkan oleh Kerajaan Fau sehingga sebagian daerah kerajaan Lahemböwö Dachi Halawa terutama di bagian Selatan menjadi milik Kerajaan Fau. Kejadian tersebut sangatlah berbekas di hati anak-anak Lahemböwö Dachi Halawa terutama anaknya yang bungsu yang bernama Wa’atuha Dachi Halawa.
Setelah anak Lahemböwö Dachi Halawa yang bernama Wa’atuha Dachi Halawa berumur 19 tahun, ia menyampaikan niatnya kepada ayahnya untuk menyerang kerajaan Fau agar wilayah kerajaan Onotachi yang telah dikuasai oleh Fau direbut kembali. Usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh ayahnya Lahemböwö Dachi Halawa yang merupakan Raja Onotachi pada waktu itu. Adapun alasan ayahnya adalah karena kerajaan Fau jauh lebih banyak dari Onotachi, dimana pada waktu itu rakyat Onotachi yang dapat dikerahkan untuk berperang hanya sekitar 150 orang sedangkan Kerajaan Fau sekitar 2000 orang.
Sejak kejadian itu, berpikirlah Wa’atuha Dachi Halawa bagaimana caranya untuk menyerang kerajaan Fau walaupun dengan jumlah pemuda yang bisa diharapkan untuk berperang relatif sedikit. Suatu saat muncullah inspirasinya untuk ‘berguru’ ilmu hitam. Maka berangkatlah Wa’atuha Dachi Halawa ke Tögi Mbögi di daerah Lahömi dan di sana ia berguru selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Sepulang dari Lahömi, ia mengusulkan kepada ayahnya agar kampung Hili Lowalani guna persiapan penyerangan kerajaan Fau. Usulannya inipun ditolak oleh ayah dan saudara-saudaranya.
Walaupun usulannya ditolak, dengan dendam kesumat yang terpatri di dadanya untuk menyerang kerajaan Fau, akhirnya Wa’atuha Dachi Halawa memberanikan diri pindah ke Bawöhösi dan pada saat itu hanya 17 Kepala Keluarga yang mengikutinya. Sampai di Bawöhösi Wa’atuha Dachi Halawa mendirikan perkampungan bersama pengikutnya dan kampung itu diberi nama Bawö Maniamölö.
Bermodalkan ilmu hitam yang dimilikinya, Wa’atuha Dachi Halawa mulai memerangi kampung-kampung kecil yang ada di sekitarnya. Secara perlahan, kampung-kampung kecil dikalahkan dan ditaklukkan serta rakyatnya di bawa ke Bawö Maniamölö menjadi budaknya. Selama 9 (sembilan) tahun dia memerangi kampung-kampung kecil di sekitarnya akhirnya kampung Bawö Maniamölö menjadi perkampungan yang besar dengan penghuni sekitar 200 Kepala Keluarga dan ada sekitar 270 orang laki-laki yang bisa diharapkan untuk berperang. Semakin lama kampung Bawö Maniamölö yang dipimpin oleh Wa’atuha Dachi Halawa semakin ditakuti dan disegani.
Setelah dirasa kuat, mulailah Wa’atuha Dachi Halawa memerangi kerajaan Fau. Sasaran pertama adalah kampung Orahili Fau karena inilah pusat kerajaan Fau dan di kampung inilah rakyat t

18 komentar:

  1. Balasan
    1. yaahowu saohagolo he no sempat dibaca Web Aku. shalam sahabat

      Hapus
    2. yaahowu... mengapa tidak ada yang bernama solaganiha dachi tahun 1605

      Hapus
    3. Semoga tdk ada kekaburan nilai sejarah dan esensi dlm perjalanan sejarah tersebut. Krn mempertanyakan hal yg sama.

      Hapus
  2. Mantap dari http://www.citraindonesianews.com/

    BalasHapus
  3. // solagò niha cucu dari tuha waatuha..anak dari tuha faoti eho...

    BalasHapus
  4. Boi farumbai sejarah.

    Molo, jino, dan lalu, berasal dari gomo bukan dari gido.
    Ho bertempat tinggal d gido, istri 1 (nandrua) anaknya 3, anak 1 Waruwu, 2 Halawa (kakek moyang anda) 3 Gulo.
    Isri ke 2 bernama sauselama anak daeli senau talinga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sangat setuju dengan hal itu.
      Karena saya juga keturunan marga Halawa yang berasal dari Nias Tengah tepatnya di Kecamatan Lolofitu Moi. Di Lolofitu Moi tepatnya di Desa Wango, kita dapat membuktikan bagaimana silsilah awal marga Halawa, batu megalit masih tersimpan, makam Leluhur "Halawa" masih ada dan bisa kita buktikan. Bukti-bukti yang ada di sana sangat valid, dan bapak/ibu semua dapat membuktikan hal itu bila anda berkunjung di sana. Terimakasih.

      Hapus
  5. Penjelasan-penjelasan ini lah yang membuat kita teringat akan sejarah kita pada masa lampau

    BalasHapus
  6. Berapa banyak marga halawa ...?

    1. Halawa
    2. ....
    3. Dakhi

    BalasHapus
    Balasan
    1. penjelasan sisila asal usul marga halawa yang telah di tulis ini,
      tidak sesui dengan sisila sejarah marga halawa Di õri Huruna,

      sisila asal usul marga Halawa di õri huruna,
      yg pertama marga halawa di õri Huruna pertama kali bersal dari gomo/bõrõ Nadu terus pindah ke desa Hilizoliga Õri Huruna
      yang bernama Zumõgõ Danõ Halawa
      sejarah ini dibuktikan dengan sejumlah peninggalan berupa batu megalit,
      batu megalit itu dibuat pada jaman megalitikum tahun 2500 sebelum masehi (SM) dimana masyarakat Pada saat itu baru mulai mengenal istilah bangunan.

      Hapus
    2. maaf bukan saya tidak setuju sejarah marga halawa yang di ORI maniamolo karena sesuai dengan cerita nenek moyang kami khususnya desa Hilimbulawa bahwa kami marga halawa bukan berasal dari hiliamaigila(hilisimaetano)tapi pertama kali mereka pindah dari sifaoroasi soliga langsung ke daerah taoro'ozio sebagai tempat persinggahan sementara dalam beberapa tahun dan pada akhirnya baru mereka dirikan kampung di hilimbulawa dengan jumlah 4 kepala keluarga bersama menantunya dengan waktu yang tidak bisa kita perkirakan berapa tahun lamanya dan akhirnya berkembang mereka dan di tambah beberapa budaknya. dan kami bisa buktikan dengan batu megalit yang didirikan oleh nenek moyang kami dan hingga sampai sekarang kami sebagai keturunan siulu desa Hilimbulawa dan populasi penduduknya adalah 60% adalah marga halawa dan penduduk lainnya yang 40% adalah pendatang yang baru pindah mulai tahun 90an sampai sekarang dan saya sebagai keturunan bangsawan (siulu) desa Hilimbulawa hingga sampai sekarang, maka saya sangat tidak setuju dengan klaim sejarah yang saudara ceritakan karena satu-satunya desa dilingkungan wilayah ORI maniamolo yang pendiriannya adalah marga do halawa adalah desa Hilimbulawa.

      Hapus
  7. penjelasan sisila asal usul marga halawa yang telah di tulis ini,
    tidak sesui dengan sisila sejarah marga halawa Di õri Huruna, (Nias Tengah/lolowa'u)

    sisila asal usul marga Halawa di nias tengah ( di õri huruna), pertama kali marga halawa bersal dari gomo/bõrõ Nadu terus pertama kali pindah ke desa Hilizoliga Õri Huruna
    yang bernama Zumõgõ Danõ Halawa.
    artinya bõrõta mado halawa dilolowau pertama kali berada didesa hilizoliga õri Huruna,
    sejarah ini dibuktikan dengan sejumlah peninggalan berupa batu megalit,
    batu megalit itu dibuat oleh Zumõgõ Danõ halawa pada jaman megalitikum tahun 2500 sebelum masehi (SM) dimana masyarakat Pada saat itu baru mulai mengenal istilah bangunan,

    jadi marga halawa di lolowa'u pertama kali ada Didesa Hilizoliga pada tahun 2500 sebelum masehi,
    setelah itu beberapa tahun kemudia baru keturunan marga halawa ini tesebar dari berbagai daerah di pulau nias.

    BalasHapus
  8. lanjutan....komentar
    sejarah marga halawa dinias tengah...
    dari beberapa õri di Nias Tengah/lolowa'u seperti Õri Huruna, õri ulunoyo, õri Ono Hajumba, õri Hili megai, õri o'o'u, dan Õri Neho tidak pernah tertulis dalam sejara marga Halawa yang bernama HO dan Tanõnavanaetu, bahkan nama ini tidak pernah kami dengar dari leluhur kami.

    yang tertulis dan yang kami dengar sampai sekarang ini kepada loluhur kami,
    bahwa kami marga Halawa di lolowa'u berasal dari gomo Pindah dilolowa'u
    yang bernama ZUMÕGÕ DANÕ HALAWA pada tahun 2500 sebelum masehi.
    artinya marga halawa di derah ini bukan berasal dari derah lain tapi marga halawa didaerah ini berasal dari gomo

    BalasHapus
  9. maaf bukan saya tidak setuju sejarah marga halawa yang di ORI maniamolo karena sesuai dengan cerita nenek moyang kami khususnya desa Hilimbulawa bahwa kami marga halawa bukan berasal dari hiliamaigila(hilisimaetano)tapi pertama kali mereka pindah dari sifaoroasi soliga langsung ke daerah taoro'ozio sebagai tempat persinggahan sementara dalam beberapa tahun dan pada akhirnya baru mereka dirikan kampung di hilimbulawa dengan jumlah 4 kepala keluarga bersama menantunya dengan waktu yang tidak bisa kita perkirakan berapa tahun lamanya dan akhirnya berkembang mereka dan di tambah beberapa budaknya. dan kami bisa buktikan dengan batu megalit yang didirikan oleh nenek moyang kami dan hingga sampai sekarang kami sebagai keturunan siulu desa Hilimbulawa dan populasi penduduknya adalah 60% adalah marga halawa dan penduduk lainnya yang 40% adalah pendatang yang baru pindah mulai tahun 90an sampai sekarang dan saya sebagai keturunan bangsawan (siulu) desa Hilimbulawa hingga sampai sekarang, maka saya sangat tidak setuju dengan klaim sejarah yang saudara ceritakan karena satu-satunya desa dilingkungan wilayah ORI maniamolo yang pendiriannya adalah marga do halawa adalah desa Hilimbulawa.

    BalasHapus