Rabu, 14 September 2011

Manajemen Gereja yang Produktif


1
DAFTAR ISI
Hal
BAB I PENDAHULUAN 2
A. GBP dan Fungsinya 2
B. Hubungan antar GBP 2
C. Penyusunan GBP 2010-2015 4
D. Isi GBP
BAB II ANALISA KONTEKS DAN GBKP KINI. 5
A. Realita Global, Nasional, Lokal dan Dampaknya secara umum 5
B. Realita GBKP Kini (Hasil Evaluasi GBP 2005-2010) 8
BAB III POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI GBP GBKP 2010-2015 14
A. Dasar Teologis GBP 14
B. Visi, Misi serta Thema dan Sub-Thema Sidang Sinode 16
C. Prioritas Program Kerja Pertahun 17
BAB IV PROGRAM KERJA 18
A. Penjabaran Prioritas Program Kerja Pertahun 18
B. Kategori Kelompok Pelayanan 18
C Penjabaran Program Kelompok Pelayanan 20
BAB V STANDARD PELAKSANAAN PELAYANAN GBKP 56
A. Perencanaan Program/ Planning 56
B. Monitoring Dan Evaluasi. 60
C. Format Perencanaan Monitoring dan Evaluasi 62
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. GBP DAN FUNGSINYA
Gereja sebagai tubuh Kristus harus menggarami konteks (lingkungan sekitar) dan waktu dimana ia
berada agar relevan dan berdampak (Mat 5:13-15). Inilah yang disebut Gereja yang bersaksi
(Marturia) yang di dalamnya pelayanan (Diakonia) dan kehidupan persekutuan (Koinonia)
menyatakan kediriannya sebagai yang bukan dari dunia tapi di dunia (konteks).1, Untuk tiba menjadi
(to be) Gereja yang bersaksi, salah satu pencapaiannya adalah menjadi Gereja yang melayani
(Efesus 4:11-16) yang diwujudkan melalui program kerjanya. Gereja yang bersaksi melalui program
kerjanya haruslah mempunyai Garis Garis Besar Pelayanan (GBP) sebagai landasan dan arah, agar
program kerja di semua organ dan lingkup pelayanan GBKP, sedasar, searah dan serentak.
Berdasarkan pemikiran inilah maka GBKP mengadakan GBP sebagai :
1. Landasan kerja untuk satu periode yaitu lima tahun yang disesuaikan dengan periodesasi
kelompok Pelayan Inti, dan
2. Berperan sebagai pedoman dan alat evaluasi tunggal bagi program-program yang ada di semua
organ dan lingkup pelayanan GBKP.
Implementasi GBP haruslah dikaitkan dengan Prioritas Program Tahunan dan hasil analisa
kebutuhan konteks dimana program akan diimplementasikan.
Sebagai penentu arah program di semua organ dan lingkup pelayanan GBKP maka GBP haruslah:
1. Menjadi landasan konseptual yang menjabarkan visi GBKP yang bersifat ideal, teologis, filosofis
yang diwujudkan dalam misi GBKP yang bersifat operasional, konkrit dan empirik (teruji dari
pengalaman).
2. Berkesinambungan yang memperbaharui, sehingga analisa pencapaian target GBP sebelumnya
serta analisa atas konteks dan kebutuhan yang relevan haruslah menjadi patokan pada
penyusunan GBP berikutnya
3. Haruslah dari dan untuk mencapai kebutuhan konteks GBKP yang diwujudkan dalam visi GBP
yang dijabarkan dalam misi dan Thema serta Sub Thema Sidang Sinode, serta berlandaskan
Alkitab dan sejalan dengan Tata Gereja GBKP 2005-2015.
B. HUBUNGAN GBP 2005-2010 DENGAN GBP 2010-2015
Dalam bab II akan dipaparkan penjabaran realita konteks GBKP yang didapatkan dari hasil penelitian
GBP yang dilakukan di duapuluh Klasis GBKP secara detail.2 Di bagian Pendahuluan ini pemaparan
tentang hasil penelitian dituangkan hanya untuk melihat kesinambungan antara GBP 2010-2015
dengan GBP 2005-2010.
Berdasarkan visi GBP 2005-2010 yang merupakan penerusan visi GBP 2000-2005 yaitu ”Hidup Setia
Kepada Tuhan,” maka bagian penelitian yang ditampilkan di sini adalah hasil penelitian GBP yang
melihat aspek spiritualitas dan kehadiran jemaat dalam Ibadah Minggu, Perpulungan Jabu Jabu (PJJ),
Pekan Penatalayanan, Pekan Keluarga, Pekan Doa dan Persekutuan Kategorial. Kedua aspek ini
ditampilkan oleh Tabel Spiritualitas (lihat lampiran 1)3 dan Tabel Kwantitas Kehadiran Jemaat (lihat
lampiran 2)4. Penampakan kedua tabel ini mampu memberikan gambaran kepada ukuran pencapaian
misi GBP 2005-2010 yaitu:
1 Yoh 15:19; 17:14; 18:36; bandingkan Yoh 17:21
2 Lihat cetakan hasil penelitian GBP
3 Untuk meneliti aspek spiritualitas jemaat semua Responden yang terdiri dari perwakilan BP Runggun, Pengurus Mamre,
Moria, Permata dan Ka Kr serta perwakilan jemaat yang diharapkan mampu mewakili gender (lelaki dan perempuan) dan
usia (tua dan muda) mengisi bagian ini.
4 Untuk penelitian kehadiran jemaat, no 1-4 diisi oleh BP Runggun; 5-8 diisi oleh Serayan dan pengurus PJJ, no 9 pengurus
Mamre dan Kaum Bapak; no 10 pengurus Moria dan Kaum Ibu; no 11 Pengurus Permata dan no 12-13 Pengurus KA KR.
Sebelum pengisian angket panitia sudah mendatangi Responden dan memintanya untuk menyediakan data yang diperlukan.
3
1. Meningkatkan Peribadatan (Tabel Kwantitas kehadiran, lampiran 2)
2. Menghargai Kemanusiaan (Tabel spiritualitas, lampiran 1)
3. Melakukan Kebenaran, Keadilan, Kejujuran dan Kasih (Tabel spiritualitas, lampiran1)
4. Mewujudkan Warga Yang Dapat Dipercaya (Tabel spiritualitas, lampiran 1)
5. Meningkatkan Perekonomian Jemaat.
TABEL SPIRITUALITAS menunjukkan bahwa Responden
1. Yang memiliki Alkitab pribadi adalah 68% dan 32 % mengatakan tidak memiliki
2. Melakukan Saat teduh setiap hari 16%, antara 5-6 kali seminggu sebanyak 16%, sebanyak 3-4
kali seminggu ada 15%, antara 1-2 kali seminggu sebanyak 24% dan yang tidak pernah 29%
3. Jumlah yang mengikuti Perpulungan Jabu Jabu 4 kali dalam sebulan 53%, antara 2-3 kali ada
26%, hanya sekali sebanyak 11% dan yang tidak pernah 10%
4. Berdoa 5 kali dalam sehari 30%, antara 4-5 kali ada 27%, antara 2-3 kali sebanyak 35% dan
sekali ada 6% dan tidak pernah berdoa sama sekali sebanyak 1%
5. Kebaktian minggu 4 kali dalam sebulan 65%, antara 2-3 kali 26%, sebanyak 1 kali ada 6% dan
tidak pernah ke gereja sama sekali 2%
6. PA kategorial ( Mamre, Moria, PERMATA) 4 kali sebulan 46%, antara 2-3 kali 30%, sebanyak 1
kali ada 7% dan tidak sama sekali 17%
7. Bersaksi dengan kata-kata di PA dan PJJ 38%, kadang-kadang 54% dan yang tidak pernah
sama sekali 8%
8. Memberi amplop ucapan syukur ke lembaga agama dan sosial 17%, kadang-kadang 63%, dan
tidak pernah 20%
9. Sering menggumulkan pasangan (pacar) dalam doa 40%, kadang-kadang 42% dan tidak pernah
18%
10. Sering menggumulkan pekerjaan dan pendidikan dalam doa 54%, kadang-kadang 36% dan
tidak pernah 10%
11. Isi doa sering berupa permintaan 55%, kadang-kadang 42%, tidak pernah 3%
12. Isi doa penyerahan diri 57%, kadang-kadang 40% dan tidak pernah 3%
13. Melakukan retreat keluarga 15%, kadang-kadang 58% dan tidak pernah 27%
14. Sering Memberikan upeti/sogok dalam mendapatkan pekerjaan/pendidikan/jabatan 8%, kadangkadang
20% dan tidak pernah 72%
15. Sering menerima sogokan/upeti karena memiliki jabatan 0.5%, kadang-kadang 13% dan tidak
pernah 86,5%
16. Sering menerima sogokan/upeti dalam pemilu dan pemilihan Penatua dan Diaken 8%, kadangkadang
10% dan tidak pernah 82%
17. Berbohong dalam bersaing 8%, kadang-kadang 11% dan tidak pernah 81%
18. Sering bersaksi dusta 7%, kadang-kadang 37% dan tidak pernah 56%
19. Sering putus kekerabatan karena harta 8%, kadang-kadang 20% dan tidak pernah 72%
20. Sering putus pertemanan karena harta 7%, kadang-kadang 15% dan tidak pernah 78%
21. Selalu menilai orang atas harta/pangkat 3%, kadang-kadang 27% dan tidak pernah 70%
22. Pernah memprotes ketidakadilan dan ketidakbenaran 24%, kadang-kadang 58%, dan tidak
perah 18%
23. Sering berlaku curang 7%, kadang-kadang 61% dan tidak pernah 32%
24. Sering membatu orang kesusahan 27%, kadang-kadang 65% dan tidak pernah 8%
25. Selalu tepat waktu dan janji 33%, kadang-kadang 64% dan tidak pernah 3%
26. Selalu membayar hutang dan janji 52%, kadang-kadang 46% dan tidak pernah 14%
27. Sering terjadi perselisihan dalam keluarga 16%, kadang-kadang 70% dan tidak pernah 14%
28. Sering terjadi perselisihan dalam jemaat 8%, kadang-kadang 70% dan tidak pernah 22%
TABEL KWANTITAS kehadiran jemaat di wilayah Metropolitan, Kota, Semikota, Desa dan Desa
Tertinggal Menunjukkan bahwa:
1. Jemaat Ibadah minggu meningkat: 54%; Tetap 35% dan Menurun 11%
2. Jumlah Ngawan meningkat: 35%; Tetap 35% dan Menurun 15%
3. Jumlah Babtisan anak kecil meningkat: 50%, Tetap 43 % dan Menurun 17%
4. Jumlah Babtisan anak dewasa meningkat: 26%, Tetap 25% dan Menurun 49%
5. Jumlah kehadiran PJJ meningkat: 40% Tetap 43% dan Menurun 17%
6. Kehadiran Pekan Doa meningkat: 38% Tetap 50% dan Menurun 12%
7. Kehadiran Pekan Keluarga meningkat : 42%, Tetap 45% dan Menurun 13%
8. Kehadiran Pekan Penatalayanan meningkat : 35%, Tetap 49% dan Menurun 16%
9. Kehadiran PA Moria meningkat: 31%, Tetap 43% dan Menurun 26%
10. Kehadiran PA Mamre meningkat: 18, Tetap 38% dan Menurun 44%
4
11. Kehadiran PA PERMATA meningkat: 24%, Tetap 37% dan Menurun 39%
12. Kehadiran Kebaktian KA/KR meningkat: 56%, Tetap 27% dan Menurun 17%
13. Kehadiran PA KA/KR meningkat: 56%, Tetap 28% dan Menurun 31%
Berdasarkan isi kedua tabel di atas bisa dikatakan bahwa taraf pencapaian visi GBP 2005-10 berada
diantara tercapai dan tidak atau dengan kata lain, mendapat nilai rata-rata. Dipikirkan bahwa salah
satu sebab maka pencapaian visi GBP tidak maksimal adalah kwantitas yang mengerti isi GBP sangat
minim, Jumlah Responden yang memiliki buku GBP 39%. Yang mengerti isi GBP sepenuhnya 8%;
yang mengerti sebagian 28%; mengerti sedikit 33% dan tidak mengerti sama sekali 33%. 52%
mengatakan tahu bahwa semua program di GBKP harus berlandaskan GBP dan 48% mengatakan
tidak tahu (lihat Tabel Pencapaian GBP di lampiran 3). Penampakan hasil seperti ini disebabkan
karena kurangnya sosialisasi dan penjelasan GBP oleh Moderamen ke semua organ dan lingkup
pelayanan GBKP.
Berdasarkan penampakan ketiga Tabel di atas maka:
C. PENYUSUNAN GBP 2010-2015 Haruslah:
1. Melihat rendahnya kwalitas pengelolaan Program Kerja hampir di setiap Bidang dan bagian
yang ada, maka GBP ini haruslah menjadi panduan bagi pelaksanaan pelayanan melalui
Program Kerja di semua unit pelayanan GBKP untuk mewujudkan Visi dan Misi GBKP dengan
kwalitas yang memenuhi Standard Pelaksanaan Program.
2. Melihat kekurang-puasan jemaat dalam pelayanan yang dilaksanakan selama ini, maka GBP
mengajak kita untuk meningkatkan pelayanan kepembentukan spiritualitas jemaat dengan
mengakomodasikan kepentingan personal (individual), sehingga ke depan ibadah dan
pelayanan GBKP berorientasi kekepentingan komunal dan personal.
3. Mengingat semakin menurunnya kehadiran Permata di semua wilayah pelayanan GBKP
khususnya dan juga kehadiran jemaat di pelayanan kategorial lain pada umumnya, maka
program pelayanan kategorial haruslah dirancang untuk memuliakan nama Tuhan Allah dan
juga menyenangkan bagi jemaat. (bandingkan dengan poin 2 di atas).
4. Mengingat angka Baptisan Dewasa yang menurun, maka Pekabaran Injil (PI) ke Luar
dikembangkan dengan lebih berorientasi kepada hasil (result oriented) jadi bukan sekedar
aktivitas PI semata. Sehingga penambahan tidak hanya diharapkan dari Baptisan Anak Kecil. PI
Ke Dalam haruslah juga ditingkatkan melalui peningkatan program Pembinaan Warga Jemaat
yang dimulai sejak sekolah Minggu, Permata hingga Moria dstnya dengan menyediakan
kurikulum yang berkesinambungan.
5. Mengingat penurunan drastis jumlah kehadiran di kebaktian kategorial di wilayah Desa dan
Desa Tertinggal, maka secara serius GBKP harus melakukan terobosan dengan melakukan
formulasi ibadah yang memuliakan Tuhan Allah dan menyenangkan bagi jemaat, dan
menempatkan tenaga full timer yang sesuai dengan kebutuhan jemaat.
6. Melihat bahwa menurunnya kwantitas yang sangat berhubungan dengan kwalitas sumber daya
kita, maka Peningkatan Sumber Daya dari segi kwalitatif menjadi Program Utama terkhusus
kepada subjek pelayanan inti GBKP.
7. Mengingat kekurangmampuan Runggun dan Klasis dalam merencanakan program yang
kontekstual maka Perencanaan, Pengawasan, Penilaian (Planning, Monitoring, Evaluating
(PME) harus menjadi program di semua organ dan lingkup pelayanan GBKP di tahun pertama
masa kerjanya. Hal ini akan berdampak pada efisiensi dana, karena pola kerja berorientasi pada
hasil (result oriented) dan bukan sekedar aktivitas.
5
BAB II
ANALISA KONTEKS DAN GBKP KINI.
A. REALITA KONTEKS GLOBAL, NASIONAL DAN LOKAL SERTA DAMPAKNYA
Sejak GBP 2000-2005, GBKP sudah menyadari akan peran konteks Global, Nasional dan Lokal
dalam menentukan identitas dan arah pelayanannya. Di GBP GBKP 2005-2010 sudah mulai
dianjurkan agar ketiga konteks; Global, Nasional dan Lokal, untuk dianalisa secara bersama dan
dihibridkan5dengan mengingat identitas GBKP sebagai gereja Karo yang Alkitabiah sebagai warisan
Calvinis. Di GBP GBKP 2010-2015 penghibridan ketiga konteks ini semakin dipertegas6 dalam upaya
pencarian identitas GBKP. Konsekwensinya GBKP harus siap untuk bersifat terbuka terhadap (a)
pembaharuan Teologi dan Spiritualitas dan (b) Revitalisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Apalagi kenyataan kini telah membuktikan bahwa
ketiga konteks (Global, Nasional dan Lokal ) berperan sebagai subjek dan ketiganya berinteraksi
saling mempengaruhi.7
1. REALITA KONTEKS GLOBAL.
Konteks internasional yang disebut ”dunia mengglobal (globalized world)8, yang memuja kebebasan,
transparansi dan demokrasi, yang berdampak pada Ekonomi Pasar Bebas,9 yang membuat dunia
menjadi ”pasar” (global market) yang dikuasai oleh global empire,10 sudah menjadi sistem budaya
(kultural), yang tidak bisa lagi diabaikan namun tidak perlu juga ditakutkan. Ia sudah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan di semua konteks. Sehingga analisa kritis yang realistis dan
futuris, harus mampu dilakukan ketika menghibridkan konteks global ini dengan konteks budaya Lokal
dan Nasional.
a. Ekonomi, Politik dan Budaya.
Budaya global yang menyeragamkan banyak hal untuk mempermudah sistem kontrol, didikte
oleh industri (Multi-cooperation) atau ekonomi.11 Sehingga kwalitas nilai Sastra, Kesenian,
Estetika, Selera, Status dan Gengsi ditentukan oleh pasar yang dimarketkan melalui media cetak,
radio, film, internet dsbnya.
Yang bisa bertahan untuk mandiri dan tetap hidup (survive) dalam konteks ini adalah manusia/
dan negara yang mampu melakukan mekanisme pertahanan diri dalam beragam rupa dengan
mengandalkan dukungan oleh sedikitnya salah satu komponen ini, yaitu kwantitas atau kwalitas
SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) seperti China, India di Asia, Brazil
di Amerika Latin dan Afrika selatan di Afrika. Latarbelakang pemikiran inilah yang memunculkan
pendirian
G 20.12
5 Hybrid (bah. Inggeris) dan hibrid diindonesiakan adalah perkawinan silang yang menghasilkan turunan dalam bentuk yang
baru. Proses ini tidak mengenal subjek dan objek, keduanya subjek, melebur dan menghasilkan turunan hasil keduanya.
Hibrid adalah proses perkawinan silang budaya yang paling bijaksana yang harus dilakukan oleh siapa saja dalam konteks
global dimana pergerakan manusia sangat mobil melalui migrasi, transmigrasi dan turis juga media dan internet. Proses ini
mengcounter budaya imperialisme yang ada selama ini, dalam arti jika satu kebudayaan menjadi dominan dan menjajah
kebudayaan lain, inilah yang dihasilkan di masa kolonialisme dulu. Pernyataan Anthropologist Cina Aihwa Ong bahwa untuk
konteks Hybrid ini manusianya haruslah yang fleksibel dan menyadari bahwa ia berada di konteks post-etnis dan postnasional.
6 lih. Gerit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: BPK, 2005, 417
7 Inilah yang disebut Clinton sebagai dunia yang saling berketergantungan (interdependence). Lihat wawancaranya dengan
Newsweek edisi December 28, 2009,
8 Dunia yang sudah mengglobal.
9 Bandingkan Thomas L. Friedman, The World is Flat. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2006.
10 Peran transfer uang sangat berperan dan berdampak pada putaran uang yang cepat dan tidak tetap serta pentingnya nilai
mata uang setiap negara. Lihat aspek positif dan negatif bagi Negara yang bergabung dalam Uni-Eropa karena penggunaan
mata uang Euro.
11 Noam Chomsky interviewed by Sun Woo Lee, Monthly JoongAng, 22 February 2006
12 Dimanapun kekuatan bargaining adalah kwantitas atau kwalitas. Kwantitas bisa menjadi kwantitas yang berkwalitas jika
memiliki system pemerintahan yang kuat. Kriteria menjadi anggota G20 selain pengadopsian anggota G8 dan United Eropa,
adalah perhitungan Negara mana yang system keuangan wilayahnya diperhitungkan (penting); seberapa besar rakyatnya,
dan keseimbangan lokasi berdasarkan peta dunia. Indonesia, China dan India adalah anggota perwakilan Asia.
6
Walaupun G2013 diciptakan dalam kerangka ”memperhalus” G814 dengan Neoliberalismenya15,
namun tidak bisa disangkal bahwa hingga kini peran Multi-cooperation yang dikuasai oleh G8
masih berjaya. Ekonomi menguasai Pemerintah (State), sehingga semua kekuatan pendamping
seperti militer16 dan teknologi17 adalah dari dan untuk kepentingan ekonomi.18 Maka pola pikir dan
tindak, survival of the fittest (yang terkuat yang menang) merembes menjadi budaya global yang
bermuara pada pemeliharaan ketidakseimbangan atau dengan kata lain, ketidakadilan (injustice,
inequality). 19 Jelas ideologi seperti ini akan semakin melemahkan hak warga yang sudah lemah,
seperti anak kecil20, perempuan21, pemuda22, orang-orang miskin struktural23, dan alam serta
ciptaan lainnya. Pembela terhadap kaum lemah ini menuntut keadilan global (global justice),
yang dibahasakan Clinton dalam wawancaranya dengan pernyataan bahwa dalam dunia yang
salingketergantungan ini haruslah berupaya untuk mencapai pembagian/pendistribusian yang
merata. Jika ini terjadi akan berdampak pada mengecilnya jarak si kaya dan miskin dan akan
sangat berdampak pada ”kesehatan” alam, maka akan terwujudlah justice, peace and integration
of creation.24 Tanpa goodwill dari negara kaya yang berkuasa, salahsatunya adalah Amerika,
maka pertemuan-pertemuan Climate Change , akan selalu berakhir seperti yang terjadi di
Copenhagen pada tahun 2009, dimana kesepakatan yang akan berdampak pada kepentingan
ekonomi satu negara akan sangat susah untuk diputuskan.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, memberikan shock terapi pada Negara G8
khususnya Amerika. Krisis ini memberikan dua penampakan yaitu penampakan akan kegagalan
sistem Neo-Liberal (yang merupakan pemahaman yang dominan di dunia) 25dan mengingatkan
kembali akan pentingnya peran Pemerintah dalam mengatur ekonomi yang dilemahkan oleh
system perekonomian Neoliberal. Krisis ini mau tidak mau memaksa Pemerintah untuk mulai
melakukan dua hal yaitu mengontrol aktivitas ekonomi agar terhindar menjadi kasino yang besar
dan meningkatkan keadilan ekonomi khususnya pada orang yang tertindas. Namun
kenyataannya dunia masih tetap dikuasai oleh pola pikir dan tindak Neo-liberalisme yang titik
berangkat dan tujuannya adalah globalisasi, kebebasan individu dan persaingan bebas yang
menyuburkan pola pikir dan tindak yang terkuat adalah pemenang.
Dampak dari Neoliberasime di Indonesia mulai terasa setelah terpuruknya mata uang Rupiah
pada tahun 1997 yang mengharuskan Pemerintah untuk membiarkan IMF menormalkan
13 Lihat Fareed Zakaria dalam bukunya The Post-America World mengatakan bahwa walaupun Amerika nampak sebagai
yang tetap berkuasa domina di dunia, namun ia harus belajar untuk membagi kekuasaan karena munculnya Negara-negara
yang lain. Munculnya Negara-negara berkembang mengartikan bahwa Amerika tidak bisa lagi mendikte peraturan dan politik
dunia, katanya.
14 G8 adalah koalisi delapan negara termaju di dunia: Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, Amerika Serikat (G6,
1975), Kanada (G7, 1976) dan Rusia (tidak ikut dalam seluruh acara), serta Uni Eropa. Peristiwa terpenting dalam G8 adalah
pertemuan ekonomi dan politik tahunan yang dihadiri para kepala negara dan pejabat-pejabat.
15 Neoliberalis (ekonomi neoliberal) mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad duapuluh yang adalah redefinisi dan
kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak
penghambatan pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost
Economy, yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini fokus pada pasar bebas dan perdagangan
bebas.
16 Bukankah perang yang terjadi di Negara-negara ini: Darfur , Somalia , Congo , Myanmar , Gaza , Pakistan
adalah berlandaskan dari dan untuk kepentingan ekonomi?
17 Kecanggihan technology dari dan untuk kepentingan pasar termasuk nuklir bom, dan kesemuanya memporakporandakan
ekosistem bumi yang interdependen.
18 Lihat catatan kaki no. 9 di atas.
19 Presiden Clinton menyatakan dalam wawancara ke Newsweek December 28, 2009, hal. 37 menyebutkan bahwa
diseluruh dunia juga di Negara kaya, terlalu banyak ketidakseimbangan dalam mendapat kesempatan di bidang ekonomi,
pendidikan dan kesehatan. Clinton menyatakan bahwa isu yg paling penting di abad 21 ini adalah kesaling-tergantungan
(interdependence), ia katakan, “our actions impact each other. “ dan salingketergantungan ini mempunyai sisi yang bagus
dan jelek, kini kedua sisi itu ada. Sehingga yang diinginkannya adalah meninggikan sisi baik dari kesalingtergantungan ini.
20 Menjamurnya buruh anak anak di bawah umur dan pelacuran anak-anak.
21 Tidak seimbangannya upah perempuan dan lelaki; Mafia Pelacuran (women trafficking); UU Pornographi, Perkawinan siri
dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
22 Karena Negara kurang memperhatikan mutu pendidikan dan mempersiapkan lapangan kerja, maka korban (victim) dari
system ekonomi seperti ini adalah para pemuda. Pemuda dan perempuan Indonesia menjamur menjadi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di negara yang lebih mapan ekonominya, yang jika dibandingkan dengan Tenaga kerja Filipina, Nampak
bahwa TKI sangat rendah mutu SDMnya.
23 Bagaimanapun pemerintahan yang program dan anggarannya tidak pro-rakyat akan menciptakan kemiskinan yang
terstruktur . Di negara miskin (south) umumnya buruh, tani atau nelayan sulit untuk bangkit karena memang tidak berdaya.
Ini akan berdampak pada tingkat kecerdasan dan kesehatannya yang minim.
24 Keadilan, damai dan integrasi semua ciptaan.
25 Geoplotical setback of the west.
7
perekonomian kita yang hingga kini belum terealisasi. Konsensus Washington berdampak pada
masuknya Shell (perusahaan minyak Amerika) ke Indonesia dan penghapusan subsidi bahan
bakar minyak serta kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT.
Tambang Timah dan Aneka Tambang, dll. Kesemua tindakan ini tidak berpihak pada rakyat.
Keterpurukan Indonesia semakin dalam dengan pola tindak aparat Pemerintah yang korup; etika
kerja yang tidak professional; mutu SDM yang masih seadanya saja dan tidak berperannya
lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan dalam membentuk pola pikir dan karakter bangsa.
lemahnya peran Negara (state)26 mengharuskan kita memperkuat peran masyarakat sipil dan
pergerakan sosial seperti LSM, juga Gereja. Sehingga bentuk pengajaran dan program
hendaklah yang berpusat ke nilai-nilai keadilan, solidaritas, persekutuan dan kasih sayang
(compassion). Program-program hendaklah dititik beratkan pada pemberdayaan warga sipil dan
advokasi. Serta mengembalikan peran Gereja sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjadi
alat kontrol Pemerintah dimanapun ia berada.
b. Dalam Segi Agama.
Dampak dari penampakan global yang disikapi baik dalam bentuk reaksi atau resistensi menurut
Hans Kung27 nampak dalam pembentukan pandangan masyarakat terhadap agama sebagai
yang tidak statis dan final. Sehingga hal ini mengakibatkan Agama adalah:
a) Bukan penebusan privat
b) Bukan alat kontrol transenden yang dikukuhkan dalam institusi-institusi yang berat dan
stabil.
c) Bukan inti spiritual yang transenden dari kebenaran yang abadi
d) Bukan juga sekularisasi total.
Tapi Agama adalah yang menunjukkan sakralitas ciptaan dan penciptaan kembali yang
mempunyai hubungan dengan Misteri kehidupan. Pengertian seperti ini mengandung
keterbukaan terhadap ”yang lain” (the other)28 dan ekspresi29.
Pernyataan Hans Kung ini diamini oleh
a. Pernyataan Naisbitt-Aburdene bahwa di abad 21 agama yang dihayati adalah agama yang
non formal dan bukan agama yang terorganisir ketat dan
b. Pernyataan Patricia Aburdene bahwa spiritualitas yang bernuansa personal (pribadi)
menempati unsur tertinggi dalam Mega Trends 2010 disemua aspek kehidupan.30
2. KONTEKS NASIONAL DAN LOKAL.
Mulai January 2010 diberlakukan Free Trade antara Asean dengan China yang akan memberikan
dampak positip dan negatip. Dampak positipnya adalah kita memiliki peluang memasarkan produksi
Negara kita ke wilayah yang lebih luas. Dalam arti pasar kita semakin luas. Namun sama seperti azas
Neoliberalisme yang menciptakan dunia sebagai pasar, maka di pasar semua menjadi pemain bebas.
Sehingga terjadi persaingan bebas. Untuk hal ini kemampuan bersaing, khususnya dalam mutu
26 Lihat Thomas Friedman, 2000 dan Kenichi Ohmae dalam The end of the Nation State, 1995
27 Hans Kung, The Third Millenium: An ecumenical view. New York: Doubleday, 1988, 198, 207-8
28 Mengakui keberadaan dan kebenaran kepercayaan lain dengan mengalaskannya pada pengertian bahwa yang
absolutnya hanyalah Tuhan semata.
29 Amerika sangat berkembang dalam mengembangkan psikoanalisis dan psikologis. Negara yang penuh keterbukaan ini
(melting pot) menjadi adikuasa karena keterbukaan tadi dan memberdayakan semua aspek kemanusiaan dan salah satunya
adalah ekspresi. Amerika akan mengatakan menangislah jika ingin menangis walaupun engkau lelaki. Kemampuan dan
kesempatan mengekpresikan aspek kemanusiaan berdampak pada kesehatan mental. Ketika ibadah dilakukan oleh
manusia untuk memuliakan Tuhan hendaklah juga dengan tidak mengabaikan spek kemanusiaan dan pencapaian
pemenuhan kemanusia menjadi manusia seutuhnya. Faktor psikologis dan peran pemusatan pikiran (konsentrasi) sangat
berperan dalam ibadah. Keduanya bersifat personal. Sehingga ketika ibadah hanya bertujuan untuk mengamankan
kepentingan komunal dan mengabaikan kebutuhan personal jemaat, ibadah menjadi rutinitas yang kering. Di era ini ketika
hak azasi dan demokrasi didengungkan, semuanya harus mendapatkan tempat, termasuk ekspresi yang dikebiri
pemunculannya sejak zaman pencerahan dikarenakan dikategorikan sebagai yang tidak dewasa dan tidak intelektual.
Menjadi manusia seutuhnya adalah ketika semua bagian tubuh diberdayakan berdasarkan fungsinya, tiap bagian adalah
subjek dan cara kerjanya yang salingberketergantungan satu sama lainnya menghasilkan hasil yang perfect. Bukankah
komunitas yang seperti ini yang dianjurkan oleh Paulus dan surat-surat Pastoral.
30 Lihat Patricia Aburdene, Megatrends 2010. Jakarta: Transmedia, 2006.
8
sangat diprioritaskan. Ketidakmampuan bersaing akan berdampak pada penutupan pabrik dan lahan
pertanian. Karena barang-barang buatan China dan hasil pertaniannya: buah dan sayuran lebih
murah dan enak dibandingkan dengan hasil pertanian lokal ataupun nasional kita. Dalam konteks
seperti ini jika Negara tidak berperan maka Gereja ataupun masyarakat itu sendiri haruslah
melakukan penguatan ekonomi kerakyatan sebagai alternative, dikarenakan kondisi kita yang belum
tiba menjadi Negara industri. Juga perhatian khusus dan serius harus diberikan kepada tanah karo
yang perlahan tapi pasti- berdasarkan realita: a/ kesuburan tanah yang sangat menurun b/ harga
pupuk yang mahal dan c/ murahnya harga jual panen - akan bergeser dari daerah Pertanian menjadi
Pariwisata inipun hanya akan bisa terpenuhi jika tatanan ekosistem alamnya dipertahankan.
Penjualan lahan pertanian kepada investor perhotelan sudah menjamur di wilayah Berastagi dan
sekitarnya. Penampakan seperti ini haruslah disikapi GBKP, khususnya dalam hubungannya dengan
Pemerintah, karena hal ini adalah salah satu faktor yang mempengaruhi bentuk GBKP ke depan.
Dalam kondisi perdagangan bebas yang mempengaruhi harga jual dan perekonomian rakyat, rakyat
tidak lagi membeli berdasarkan solidaritas terhadap sesama saudara atau sebangsa. Nilai ekonomi
menghapus solidaritas kesukuan dan kebangsaan. Berton-ton jeruk tidak dipanen di Tanah Karo di
penghujung tahun 2009 hingga tahun 2010, namun masyarakat tetap berlaku untuk mendapatkan
jeruk yang murah dan enak. Meningkatnya jumlah Pemuda GBKP yang tidak mendapat pekerjaan31
dan mengalami pemutusan hubungan kerja dari perusahaan mereka.32
Solidaritas antar sesama, kesukuan dan kebangsaan terhimpit oleh kepentingan dan “keselamatan”
pribadi atau kelompok agar tetap bertahan atau eksis. Dalam kondisi global, nasional dan lokal seperti
ini selain Individualistis, Nepotisme akan menyubur sebagai bentuk dari perlawanan dan pertahanan
diri. Pola pikir dan tindak akan menjadi. siapa yang bisa beradaptasi yang mampu bertahan di dunia
yang berideologi cenderung mengarah kepada pola sikap yang memangsa sesama ( homo homini
lupus.)
Kesuburan pola pikir dan tindak seperti ini semakin meningkat dengan tidak siapnya setiap daerah
dalam mempersiapkan otonomi Pemerintahannya, khuhusnya dalam mempersiapkan SDMnya.
Dampaknya bagi Indonesia yang ber-otonomi daerah, akan subur nepotisme dan fanatisme putra
daerah. Dalam konteks begini Kolusi dan korupsi gampang dan cepat bertumbuh. Penilaian atas
kemampuan yang objektif bagi siapa saja sesama warga sebangsa menjadi kabur. Keindonesiaan
menjadi semakin dipertanyakan. Nilai-nilai Pancasila dan UUD 45, digantikan dengan semangat lokal
yang menyempit ke-keterkaitan hubungan antara suku dan agama.
3. REALITA GBKP KINI (Hasil Evaluasi GBP 2005-2010)
4. Situasi Umum.
Untuk melihat situasi umum GBKP kini, empat poin hasil penelitian Garis Besar Pelayanan (GBP)
GBKP yang mampu memberikan gambaran situasi umum GBKP akan ditampilkan yaitu:
a. Kehadiran Jemaat (lihat Tabel Kwantitas Kehadiran di lampiran 2).
b. Tabel ini untuk melihat Kwantitas Jemaat dalam menjalani kegiatan rutinitas GBKP.
c. Kehidupan spiritualitas Jemaat (lihat Tabel Spiritualitas di Lampiran 1)
d. Tabel ini untuk melihat di skala mana ajaran Kristen sudah menjadi budaya jemaat sekaligus
pengukuran pencapaian Visi dan misi GBP 2005-2010.
e. Mutu Pelayanan para Presbiter (Pendeta, Penatua dan Diaken, lihat lampiran 7 dan 8). 33
f. Pandangan Jemaat akan Ibadah Minggu, pelaksanaan dan liturginya (lihat lampiran 9)34
5. Analisa Hubungan Ketiga Konteks Dengan Konteks GBKP Serta Pemecahannya.
Nampak dari realita ketiga konteks di atas, GBKP belum mempersiapkan dirinya untuk memenuhi
kebutuhan (the need) jemaatnya. Salah satu contoh adalah menurunnya kwantitas kehadiran
Permata. Pikiran Hans Kung yang diamini oleh Naisbitt dan Patricia di atas haruslah disikapi GBKP
dalam metode dan bentuk program pelayanannya.
31 Hal ini menjadi diskusi yang hangat di seminar teologia untuk Permata dalam Seminar Teologia baik yang diadakan
khusus untuk Permata maupun untuk para Presbiter.
32 Penampakan di Batam dan pulau-pulau sekitarnya yang dinyatakan sebagai wilayah perdagangan bebas pertama di
Indonesia
33 Semua Responden berhak menjawabnya.
34 Semua Responden berhak menjawabnya.
9
Seperti yang diramalkan Nisbit, jemaat sudah terlalu lelah di “dunia” maka ingin mendapat
penghiburan dan pelepasan di Gereja dan semua kegiatannya. Jemaat tidak mau lagi diletihkan oleh
faktor dan kegiatan rohani. Harvey Cox35 sudah cukup lama mengingatkan hal ini bahwa di era ini
agama bukan malah semakin merosot tapi bahkan semakin semarak namun bukan dalam bentuk
pernyatan dogmatik yang tidak kena mengena dengan konteks kehidupan jemaat, tapi dalam bentuk
yang langsung menyentuh kebutuhan personal jemaat. Sehingga dalam hal ini pelayanan yang
menyentuh personal seperti PRT, Pastoral dan Penggembalaan haruslah ada di setiap jemaat;
program Diakonia haruslah menyentuh pola hidup jemaat serta ibadah yang menyentuh ”rasa”
personal.
Kompleksitas situasi di zaman ini nampak dalam:
a. Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek; spiritualmaterial;
manusia-dunia, dst.
b. Pandangan moderen yang bersifat objektivitas dan positivitis cenderung menjadikan manusia
seolah subjek dan masyarakat sebagai mesin. Akibatnya masyarakat cenderung tidak
manusiawi. Ilmu positif dan empiris menjadi standard kebenaran tertinggi, sehingga nilai moral
dan religius kehilangan wibawa.
c. Materialisme yang mengarahkan pada aturan main survival of the fittest
d. Bangkitnya Tribalisme atau kelompok-kelompok sendiri, New Age, pemahaman dekonstruksi
yang cenderung relativisme dan keterbukaan terhadap dialog dan konsensus.
e. Kesemuanya ini adalah reaksi dari kecenderungan globalisasi yang membangkitkan sistem
kerajaan (Empire) yang absolut.
Berdasarkan penampakan kekompleksitasan itu maka di era ini Teologi harus mampu berdialog
dengan tradisi, masyarakat dan ilmu.dalam rangka menggaraminya, sehingga kenyataan ini
menantang kita untuk berfikir ulang akan hal-hal seperti dibawah ini :
1. Rumusan ajaran yang nampak dalam: Konfesi, Katekisasi, Bahan-bahan PA, Liturgi, Sermon,
Bahan Kursus PWG, Majalah Maranatha, Buku Saat Teduh/Renungan Harian; Dasar Pikiran
Teologis dalam Tata Gereja.
2. Teologia dan bentuk Ibadah dan Spiritualitas (Liturgi, Musik, Lagu, Pembawa Ibadah,
Pengucapan Syukur, Kolekte, Perpuluhan, Kerja Rani, Pekan-Pekan, PJJ, PA, Kematian, Sakit,
Anak Lahir, Perkawinan, Retreat, dll);
3. Teologia dan bentuk pelayanan jemaat (Pastoral, PRT, Kematian, Sakit, Melahirkan, Perkawinan,
PWG; Kerasukan, Alpha Omega, Gelora Kasih); Diakonia Transformatif (CU/CUM, Pendidikan,
Rumah Sakit, Balai Latihan Kerja, Home Industri, Balai Latihan Pertanian dan Peternakan;
Biogas, Penggunaan Non Pestisida);
4. Hubungan Gereja dengan Pemerintah dan Masyarakat.
i. Perpaduan pergeseran peran individu (kebebasan berekspresi, HAM) dan kelompok (LSM)
dengan kekuatan perusahaan multinasional menggeser kekuatan negara secara signifikan
Hal ini sangat berdampak atas peran negara dalam mensejahterakan dan memberdayakan
rakyatnya, khususnya dalam prioritas program dan budget. Jika Anthony Giddens dalam The
Third Way,1998 sudah mengatakan pentingnya pembentukan civil society dimana
masyarakat harus berperan dalam menentukan arah hidupnya dan masyarakatnya, disini
dinyatakan bahwa Gereja sebagai bagian dari civil society itu, harus memainkan peran ini.
Apalagi melihat penampakan realitas SDM kita.
ii. Disinilah pentingnya GBKP menguatkan masyarakat berdasarkan potensi yang dimilikinya
untuk pengentasan kemiskinan. Sehingga selain Sekolah yang berorientasi menghasilkan
orang yang berpendidikan yang juga menunjukkan kualitas keterdidikan; Rumah Sakit yang
bermutu yang berazaskan subsidi silang, GBKP harus dengan sengaja meningkatkan
pelayanan pertanian selaras alam, tidak bertumpu mengejar keuntungan tapi menghasilkan
dan merevitalisasikan tanah dan alam; Home Industri dengan konsumer internal dan nasional
serta partnership; CU dan CUM yang berorientasi dari dan untuk kita. Kesemuanya ini
sebenarnya berorientasi ke pola dan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya mempunyai titik
singgung dengan pola dan ekonomi global yang dikuasai oleh Multi-coorporation.
35 Lihat Religion in the Secular City: Toward A Postmodern Theology, lihat juga God is Back, John Micklethwait dan
Adrian Wooldridge, New York: The Penguin Press, 2009.
10
iii. Dalam hubungan dengan Pemerintah GBKP tidak lagi dalam pikiran dukung mendukung
Pemerintah tapi sebagai partner dialog Pemerintah agar mampu bersaing di pasar Global dan
menyelenggarakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Konfesi GBKP telah menyatakan itu
dimana Gereja harus mampu berdialog dengan Pemerintah. Peningkatan penyadaran akan
civil society serta hak dan kewajiban kewarganegaaran tetap harus dilakukan.
5. Dalam negara sekuler Eropa, demokrasi mereka tampaknya sudah sampai pada taraf dimana
variabel ras kesukuan dan keagamaan tidak sangat berperan, dan rasionalitas menjadi
pertimbangan utama. Kenyataan ini mengurangi konflik horizontal dan memudahkan mereka
mengambil keputusan keputusan bersama. Namun tidak di Indonesia yang masih berpikir sebagai
“negara” dalam negara. Dalam arti kesukuan dan agama masih belum terintegrasi penuh ke dalam
pengertian warga negara Indonesia yang utuh. Hingga kini dialektika antara negara dan warga
belum berjalan baik. Persoalan kebangsaan masih menjadi perdebatan walau Indonesia sudah
merdeka 65 tahun. Bagaimanapun GBKP bertanggung jawab untuk dengan sengaja
mengembangkan rasa dan pikiran kebangsaan kepada warganya dan ini sudah mulai nampak
dalam hubungan ekumene kita yang kontekstual dan Konfesi GBKP.
6. Bagaimanapun peningkatan kadar spiritualitas jemaat dan kwantitas kehadiran jemaat di semua
aras kegiatan Gereja selain bergantung pada kinerja kerja para Presbiter juga bergantung pada
program pembinaan yang membentuk jemaat sesuai dengan panggilannya sebagai orang Kristen.
Bertolak dari pemikiran Calvin akan Gereja sebagai Gereja yang nampak (visible) yang berlaku
sebagai seorang ibu, maka pembinaan yang berkelanjutan harus dilakukan setiap Runggun, mulai
dari tahap anggota jemaat pemula hingga tiba ditahap Ngawan, lalu menjadi jemaat yang
bersaksi. Karena bagi Calvin siapa saja boleh menjadi anggota gereja, sehingga proses
pembentukan anggota jemaat harus dilakukan Gereja agar mereka mampu menjadi saksi Kristus.
Pengertian akan Gereja seperti ini menyebabkan Gereja haruslah:
a. Mempunyai program pembinaan yang berkelanjutan dan menyeluruh
b. Memiliki para Presbiter yang mampu untuk membina anggota jemaat, sedikitnya disektornya.
Hal ini tidak mengherankan karena Calvin menegaskan bahwa para Presbiter haruslah orangorang
pilihan dari yang telah dipanggil Allah yang harus memiliki kemampuan intelektual,
karakter dan spiritualitas.
7. Semua hal ini disosialisasikan melalui PJJ, sehingga PJJ haruslah diintensifkan dalam hal ini
peningkatan mutu bahan PJJ dan pengembangan mutu para Presbiter di dalam melayani PJJ.
Sehingga anggaran ke depan lebih diprioritaskan kepada pengembangan SDM Presbiter yang
harus dikelola dengan kerja sama antara Kabid Personalia, PWG dan Retreat Centre. Pengurus
Kategorial dan Profesi haruslah diarahkan programnya dalam kerangka ini dan dianjurkan untuk
membuat latihan terpadu dan subsidi silang.
8. Salah satu cara untuk mengubah jemaat kita menjadi saksi Kristus adalah melalui penganjuran
dan pengarahan yang menyeluruh dan terpadu melalui Kotbah, PJJ, PA Kategorial, Pekan-
Pekan, Katekisasi, Program Retreat, pembinaan-pembinaan, aksi sosial nyata dan Keteladanan
para Presbiter.
11
BAB III
POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI GBP GBKP 2010-2015
A. DASAR TEOLOGIS GBP
1. GBKP mengaku bahwa ia adalah persekutuan manusia baru yang harus terus menerus diperbarui
oleh Roh Kudus (ecclesia reformata semper reformanda est) agar mampu dan bertahan menjadi
garam dan terang di konteks dimana ia berada. Sehingga GBKP haruslah menyaksikan pola hidup
Yesus, agar Kerajaan Allah terwujud di dunia ini. Inilah arti Gereja sebagai tubuh Kristus dan
Kristus sebagai kepalanya. (Mat. 5:13-16; Lukas 4:16-18, Ef. 4:12-16).
2. GBKP mengaku bahwa ia tidak mengadopsi nilai-nilai dunia, tapi memproklamasikan nilai-nilai
Allah yang nampak dari kehidupan Yesus yaitu cinta kasih, keberpihakan pada yang miskin, tidak
berdaya, dan yang tersingkirkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (Diakonia).Inilah
panggilan gereja, menyelamatkan dunia; mengubah dan mentransformasinya.
3. GBKP mengaku bahwa ia harus mampu melakukan dialog dengan Pemerintahan dimana ia
berada.
4. GBKP mengaku bahwa semua anggota persekutuan yang adalah manusia baru berperan dan
mendapat bagian dalam kesaksian (Marturia), persekutuan (Koinonia) dan pelayanan (Diakonia)
Gereja, sebagai wujud dari jemaat yang missioner dibawah koordinasi dan arahan dari para
pelayan khusus: Pendeta, Penatua dan Diaken.
Berdasarkan pengertian GBKP akan status dan fungsinya seperti yang tertulis di poin 1-4 di
atas yang merupakan pengertian GBKP akan Gereja seperti yang tertulis dalam Konfesi GBKP
maka wajiblah GBKP menata pelayanannya berdasarkan pengertiannya akan dirinya serta dari
dan untuk kebutuhan konteksnya.
Konteks GBKP ialah keberadaan hubungan yang berdialog antara Lokal (dimana ia berada),
Nasional dan global36.yang mempengaruhi pola tindak dan ucap jemaat kini. Berdasarkan itu
maka agar GBKP mampu tampil beda dan bermakna hendaklah:
a. Gereja Tetap menjadi Gereja (let the church be the church) di tengah-tengah dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar