Rabu, 14 September 2011

Argumentasi Teologis Menderita sebagai Orang Kristen (IV)


BAB IV
RELEVANSI PENDERITAAN BAGI ORANG PERCAYA MASA KINI
Dalam bab terdahulu dijelaskan ajaran Alkitab tentang penderitaan secara teologis, meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh orang-orang Kristen menjadi alasan untuk dapat bersukacita, alasan untuk dapat bergembira, selalu berbuat baik, karena hal menderita sebagai Kristen merupakan bagain integral hidup orang percaya yang dilalui sebagai bagian dari penderitaan Kristus. Karena Firman Tuhan berkata ”jika mau mengikut Aku, sangkallah dirimu, pikullah salibmu, dan ikutlah Aku, jadi pikul salib dan sangkal diri justru menjadi bagian dari unsur pokok mengikut Kristus.
Inilah nilai utama dari surat ini, bahwa Tuhan menunjukkan kepada orang Kristen bagaimana harus mempertahankan penebusan mereka di tengah-tengah dunia yang memusuhi mereka. Keselamatan mungkin akan melibatkan penderitaan, tetapi ia juga membawa pengaharapan , ketika kasih karunia Allah dinyatakan dalam diri masing-masing orang.[1] Oleh sebab itu pada pembahasan berikut ini penulis akan membahas seperti apa implikasi dari penderitaan itu terhadap orang percaya masa kini.
Apakah  Orang Kristen Harus Menderita
Pernyataan di atassering kali banyak orang-orang mengatakan bahwa semenjak mengikut Kristus, kesukaran-kesukaran mereka lenyap sejak berada dalam Kristus. Tetapi kalau melihat keadaan hamba-hamba pilihan Allah di dalam Alkitab bahwa kesukaran dan berbagai kesulitan lain rupanya selalu mengikuti mereka kemanapun mereka pergi.
Tidak perlu mencari-cari penderitaan cepat atau lambat penderitaan itu akan datang dan tidak perlu terkejut dan kecewa, bagi banyak orang sebagian mengharapkan tidak menerima itu, tetapi cobaan bagi orang yang sudah ada dalam Kristus merupakan suatu kebahagiaan karena hasilnya pasti mendatangkan kebaikan (Yakobus 1:2-4).
Maka penderitaan tidak  mengherankan, karena penderitaan adalah unsur pokok untuk mengikut Yesus. Inilah sebabnya mengapa ada beberapa prinsip kemuridan yang diulangi di dalam injil sama seringnya dengan prinsip bahwa kehidupan datang melalui kematian, bahwa orang yang ada di dalam Kristus mendapat nyawa hanya kalau bersedia kehilangan nyawanya.
Hal ini juga Ajith Fernando mendukung prinsip di atas menyatakan bahwa kalau ingin mengalami kehidupan yang sempurna yang Kristus janjikan bagi setiap orang percaya terlebih dahulu salib atau penderitaan itu harus dialami, sehingga dengan demikian disitulah tercermin sikap rendah hati dan kemurahan, yang menyadari kehidupan akan pengorbanan Kristus karena inilah salah satu kriteria dalam memperjuangkan nilai-nilai Kristiani secara ril dalam kehidupan di dunia ini.[2]
Pada titik seperti inilah seluruh kehidupan yang di alami manusia., penderitaan bukan lagi merupakan sesuatu yang dialami tanpa makna, sebagai kegagalan ataupun hukuman, dan tidak juga dipandang sebagai nasib; penderitaan manusia dengan demikian merupakan suatu dasar bagi komunikasi personal manusia kepada Allah justru karena Kristus telah terlebih dahulu menderita.
Penderitaan sebagai Sebagai Anugerah Allah
Memahami pandangan Petrus dalam menguatkan orang percaya yang menderita bagi Kristus dalam konteks 1 Petrus 4:12-19, maka aplikasi penderitaan itu bagi anak-anak Tuhan dapat disebut juga sebagai anugerah Allah bagi setiap orang percaya, di mana di dalamnya setiap orang percaya bertumbuh kearah yang lebih erat kepada Tuhan dalam arti menciptakan hubungan persekutuan dengan Kristus.
Persekutuan dalam penderitaan-Nya adalah suatu pemberian dari Allah, hal ini boleh dilihat dari pernyataan Tuhan dalam (4:13 bnd. Flp. 1:29;3:10), maka inilah yang diharapkan Petrus dalam pengalaman ini, sebagai bagian dari hidup orang yang percaya sehingga dengan demikian persekutuan itu akan menghasilkan suatu sukacita sebagai dasar untuk bertahan bila Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya.
Kemuliaan Di masa Yang Akan Datang
“Penderitaan dan kemuliaan” kedua-duanya merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan yang merupakan kebenaran yang saling menjalin sekali dalam surat Petrus. Dunia mempunyai keyakinan bahwa kalau tidak ada penderitaan berarti ada kemuliaan, tetapi pandangan orang Kristen berbeda. Pencobaan iman sekarang ini adalah merupakan jaminan untuk memperoleh kemuliaan apabila Yesus datang kembali (1 Ptr. 1:7-8), ini merupakan pengalaman yang sudah dilalui Tuhan dan akan menjadi suatu pengalaman juga bagi orang percaya sebagai bukti kesungguhan iman.[3]
Dalam hal ini Warren juga menambahkan dalam bukunya mengatakan bahwa yang perlu dipahami oleh orang Kristen disini bahwa Allah bukan menggantikan penderitaan dengan kemuliaan tetapi ia ingin mengubah penderitaan menjadi kemuliaan. Jadi apa yang telah dikatakan Warren di atas telah sangat mendukung sekali bahwa penderitaan itu bisa diterima oleh orang Kristen secara umum dalam berbagai aspek kehidupan di dunia ini.[4]
Keterlibatan dalam Pelayanan Roh Kudus
Roh Kudus adalah Roh kemuliaan dan Ia mempunyai suatu pelayanan khusus kepada mereka yang menderita bagi kemuliaan Yesus Kristus. Dalam ayat 14 diberikan suatu pemahaman baru bagi setiap orang Kristen ” Sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu,” ayat ini berkenaan dengan kemuliaan Tuhan yang akan memenuhi umatnya, dimana salah satu contohnya ketika orang-orang melempari Stefanus dengan batu, ia menatap ke langit, lalu melihat Yesus di Surga dan ia mengalami kemuliaan Allah (Kis. 6:15; 7: 54-60). Inilah sukacita yang mulia yang tidak terkatakan yang ditulis oleh Petrus dalam 1 Petrus 1: 7 – 8.[5]
Dengan perkataan lain, orang-orang Kristen yang menderita tidak usah menantikan Surga untuk mengalami kemuliaan-Nya. Melalui Roh Kudus, orang percaya  dapat mengalami kemuliaan itu sekarang juga. Dalam hal ini juga diharapkan bagaimana orang percaya yang mengalami berbagai penindasan dan penderitaan lainnya dapat menaikkan pujian kepada Allah sementara berada di tengah-tengah ”api pencobaan”  dan tidak mengeluh serta tidak mengadakan suatu perlawanan  terhadap orang yang memperlakukan mereka tidak adil karena orang percaya meneladani sikap Kristus dalam hidupnya.
Maka itu sebabnya umat Tuhan jangan hanya melihat pimpinan Allah hanya selalu positif, maka kita tidak dapat memahami pimpinan-Nya dan kehendak-Nya. Belajarlah mengetahui pimpinan Roh Kudus meskipun itu seolah-olah selalu kelihatan negatif tetapi ia selalu memperhatikan dan menuntun umat-Nya.
Penderitaan Sebagai Kesaksian
Penderitaan yang disebabkan oleh penganiayaan karena agama bukanlah pengalaman asing bagi gereja.  Sejak berabad-abad bahkan pada sepanjang zaman, banyak orang kristen telah menderita hanya karena mereka adalah orang Kristen. Penganiayaan terhadap orang Kristen berkaitan dengan kesalahpahaman tentang kekristenan. Meskipun telah berjuang untuk menghindari itu semua pada masa lampau dengan positif, tetapi harus disadari bahwa penderitaaan adalah bagian dari eksistensi gereja dan penderitaan bukanlah pengalaman asing dalam kehidupan gereja (1 Ptr. 4:12).
Sebagaimana halnya dengan apa yang dialami oleh Tuhan Yesus Kristus dalam masa-masa pelayanan-Nya berbagai kesukaran-kesukaran dialami-Nya, demikian juga gereja terpanggil untuk mengikuti teladan sebagai kepala dan Tuhannya, khususnya dalam penderitaan dan penolakan, hal ini dapat dibandingkan (Luk. 14:25-33 ; Yoh. 12: 23-25; Rm. 8:17 dst.). Bruce Milne memberikan pernyataan atas hal ini mengatakan bahwa salib atau penderitaan itu menentukan kehidupan dan misi pengikut-Nya. Dimana Gereja itu merupakan persekutuan di bawah salib (Mrk. 8:3-38; Kis. 14:22; 2 Tim. 3:12).
Dalam pada itu Bruce Milne menegaskan juga bahwa dalam Perjanjian Baru, penderitaan merupakan tanda dasar kesaksian dan kehidupan Kristen karena kata saksi itu sendiri padanannya dengan bahasa Yunani adalah martir. Jadi dalam menggenapkan rencana-Nya untuk membentuk gereja menurut citra Tuhan dan memperluas kesaksiannya agar semakin lengkap di dunia, Allah memakai penderitaan baik secara berkelompok maupun secara perorangan (Ayb. 23:10; Mzm. 119:67,71; Yoh. 15:3; Ibr 12: 4-13; 1 Ptr. 1:6-7). [6]
Apa yang telah dikemukakan oleh Milne di atas jelas dan secara pribadi sangat menyetujui hal ini bahwa penderitaan itu adalah merupakan bentuk kesaksian orang percaya dalam mengikuti teladan Tuhan-Nya. Inilah yang menjadi salah satu tujuan Tuhan bagi umatnya supaya menjadi berkat terhadap yang lainnya karena natur Kristus dikenal dari pribadi orang percaya setiap hari sebagai saksi yang setia dan efektif di tengah-tengah dunia ini.
Maka dengan itu, memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari kesaksian orang Kristen maka dapat dikatakan bahwa gereja adalah persekutuan yang bersaksi. Orang Kristen perlu menegaskan komitmennya dalam dunia ini dan memeriksa sikapnya sebagai saksi bagi Kristus, karena sikap adalah kenyataan yang sangat kelihatan sekali sebagai sebagai atribut kekristenan itu sendiri dalam konteks dimana ia berada.
Pengalaman penderitaan dapat membuat kehidupan gereja menjadi kesaksiaan yang efektif kepada dunia dan bukan saja hanya dalam aktifitasnya gereja dapat menjadi sebuah kesaksian  tetapi dengan setia kepada identitasnya yang sejati di tengah situasi yang bermusuhan itulah gereja dapat berbicara kepada dunia. Dengan kata lain biarlah gereja tetap gereja ketika ia memberi respons kepada situasi apapun yang ia temukan. Ada tiga aspek kehidupan gereja yang menjadi kesaksian sehubungan dengan penderitaan adalah ibadah, melakukan yang baik, dan pemuridan.


Dasar Komunikasi Personal
Setelah Petrus memaparkan bahwa dampak penderitaan yang dialami oleh anak-anak Tuhan mendatangkan kemuliaan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu dihubungkan dengan perkataan rasul Paulus dalam kitab Roma 5:1-2 jelas sekali ada kaitannya dengan kitab 1 Petrus 4:13 bahwa ketika manusia dibenarkan melalui iman, anak-anak Tuhan tetap harus menderita aniaya oleh karena nama-Nya (Mat. 16:24). Pada pasal 5 :3, Paulus mengatakan,” Dan bukan hanya itu saja.[7] Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu akan menimbulkan ketekunan. ” Di ayat ini, kata ”Dan bukanlah hanya itu saja” itu menunjukkan bahwa selain menerima damai sejahtera dari Allah dilain hal kita juga menerima penderitaan dan kesengsaraan sebagai dasar pembenaran iman. Ini adalah fakta yang disampaikan oleh rasul Paulus ketika ia berusaha mengibur jemaat Kristen yang sedang dalam penganiayaan hebat dari kekaisaran Romawi.
Maka dari itu disinilah kita boleh melihat bahwa rasul Petrus dan juga rasul Paulus bukan meniadakan realita penderitaan tetapi memaparkan realita itu dari persepktif kedaulatan Allah. Apa yang telah disampaikan oleh kedua tokoh di atas sama seperti apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam khotbah dibukit.
Penderitaan menimbulkan ketekunan, inilah prinsip utama dalam mengatasi penderitaan  kata ”ketekunan” dalam bahasa Yunani Hupomone berarti cheerful (or hopeful), endurance, patience, constancy (waiting), artinya kesabaran/ketahanan yang gembira/berharap; keteguhan/kesetiaan,/kepatuhan: tahan sabar, (proses menunggu) dalam kitab Yakobus juga disana dijelaskan penderitaan sebagai ujian iman orang percaya.
Jadi penderitaan sebagai dasar komunikasi personal adalah dalam keadaan apapun hanya Tuhanlah yang menjadi sumber utama pengharapan orang percaya oleh sebab itu didalam ketekunan baik dalam doa dan sikap menimbulkan tahan uji yang membuktikan kita adalah orang Kristen, datanglah kepada Tuhan sebab dia sanggup berubah segala sesuatunya indah dikemudian hari.
Tahan uji menghasilkan buah dan tahan uji juga merupakan proses pemurniaan menuju kesempurnaan karena iman yang teruji membuktikan orang tersebut dewasa dalam imannya semakin serupa dengan Kristus. Meskipun teologi kontemporer komprimi dengan teologi kemakmuran yang memandang hidup menderita adalah kutukan dari Tuhan.[8] Ini adalah ajaran yang tidak bertanggung jawab justu di dalam hidup menderita di satu sisi diajarkan Alkitab orang Kristen menjadi kuat, tegar, setia, taat dan jujur sehingga ketika ia harus melalui penderitaan yang berat dikemudian hari, ia tetap kuat dan sanggup melewatinya.  
Stephen Tong seorang pelayan Tuhan yang sungguh luar biasa dipakai Tuhan dalam misi Tuhan baik di dalam maupun luar negeri mengatakan bahwa hidup sebagai orang Kristen tidak pernah lepas dari penderitaan dan berbagai kesulitan lainnya. Bahkan Tuhan memakai segalanya itu sebagai proses pendewasaan meskipun kerap kali umatnya terbatas dalam memahaminya dan hanya mampu melihat yang terjadi secara fragmental dan larut di dalamnya.[9]
Teladan Pribadi Kristus








[1]Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Yayasan Gandum Mas, 2000), 435
[2]Ajith Fernando, Pola-pola Hidup Kristen, (Malang: Gandum Mas, 2005), 496.
[3]Derek Prime, Tanya Jawab Tentang Iman Kristen, peny., H.A. Oppusunggu, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2006), pen., M.H. Simanungkalit, 46

[4]Warren. W, Pengharapan Di dalam Kristus, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1999), pen., Lina maria, 126
[5]Warren, Pengaharapan, 127.
[6]Bruce Milne, Mengagali Kebenaran dan Dasar Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), Pen., Conny Item-Corputty, 4: 328.
[7]Sastro Soedirdjo, Menggali Isi Alkitab Roma- Wahyu, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1988), 38.
[8]Tumbur Tobing, Manusia Sukses, peny., Suko Rahmady, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009), 34.

 [9] Stephen Tong, Iman dan Pengaharapan  Dalam Krisis, (Surabaya: Penerbit Momentum (STEMI dan LRII, 2007 ), 119. `

Tidak ada komentar:

Posting Komentar