Rabu, 14 September 2011

Argumentasi Teologis Menderita sebagai Orang Kristen




BAB II
PANDANGAN-PANDANGAN TENTANG PENDERITAAN
 Kehausan manusia akan firman Tuhan pada akihr-akhir ini dibingungkan dengan berbagai tafsiran-tafsiran yang tidak tepat, yang mana hal ini menimbulkan suatu probelematika yang tidak pernah kunjung selesai, salah satu faktor utamanya adalah dengan munculnya berbagai interpretasi teologi yang hanya menjanjikan berkat, hidup berkelimpahan, kaya raya dan sebagainya, bahwa hidup di dalam Tuhan tidak pernah kekurangan suatu apapun dan menderita sebab kita adalah anak Raja.
 hal ini dengan dibuktikan semakin banyaknya membangun gereja serta fasilitas yang sangat memadai tanpa memperhatikan aspek kondisi sosial jemaat yang ada. Ajaran yang demikian memang manarik tetapi, tidak serta merta menjadikan suatu patokan yang sangat paten bahwa hidup berkelimpahan, kaya, raya, menjadi satu kriteria yang lebih utama sebagai preferensi melihat realita hidup menjadi aman yang dianggap sebagai tanda hidup yang diberkati. [1]
                Tawaran ini cukup menggiurkan di mana mengajak orang untuk menyembah Tuhan dan tetap mencintai Mamon (harta, kekayaan) yang lebih kepada kebutuhan jasmani yang bersifat sementara yang tidak berdampak pada kekekalan. [2] Inilah yang merupakan suatu bentuk pandangan hidup yang mendua dalam arti motifasi menyembah Allah supaya menjadi melimpah dalam hidup bahkan dalam sekte tertentu ini sudah terpopuler pada masa kini dan memang ajaran ini sangat menjanjikan sebagai tanda hidup yang diberkati sehingga kemiskinan dan penderitaan bila terjadi dalam hidup orang percaya akan sulit untuk diterima suatu apapun dianggap imannya terlalu kecil dan tidak diberkati.
                Fenomena dan kejadian ini mengambil sebagian refensi dalam perjanjian Lama sebagai contoh Abraham sebagai bapak orang percaya di samping juga melimpah akan tetapi juga taat terhadap Allahnya sehingga hal ini diadopsi sebagai suatu kebenaran yang holistik utuh untuk melakukan suatu perbandingan bagi hidup didunia saat ini sehingga terpaan hidup dianggap sama sekali tidak cocok dengan konsep kekristenan khususnya bagi orang yang ada di dalam Kristus Yesus sebagai anak Raja.[3]
                Oleh sebab itu melihat berbagai interpretasi dari konsep di atas penulis mengajak orang percaya untuk berbalik memahami apa sesungguhnya kata Firman Tuhan, apakah Tuhan sudah menjanjikan berkat tanpa menerima suatu penderitaan.
                Ayub, Amos dengan penyakit sampar yang menimpanya, Daud, Musa dan Paulus merupakan tokoh yang paling sentral dalam Alkitab yang menjadi musafir yang luar biasa dipakai Allah dalam Alkitab mereka  ini di dapati tetap setia dan saleh akan tetapi hidup mereka sangat tragis, dikhianati, ditolak oleh bangsanya, hidup dalam penderitaan dan tertindas [4] tetapi mereka tetap setia mengalami itu dalam pelayanan mereka karena kasih dan keadilan Allah bahwa hal mengikut Kristus harus rela membayar harga baik secara jasmani dan maupun secara rohani, dan rela meninggalkan apa yang menjadi kesenangan dunia tanpa mempermasalah di mana kasih dan keadilan Tuhan dalam hidupnya bandingkan Amsal 16:9 ”hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.”
                Jadi segala kejadian yang terjadi terpaan hidup ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai hubungan dengan penciptanya dengan kata lain Allah berhak atas ciptaanNya.
Pandangan Tentang Penderitaan
          Pandangan yang menyoroti tentang penderitaan yang dimaksud penulis adalah ajaran yang tidak menerima dan menganggap bahwa penderitaan sama sekali tidak cocok dalam konsep kekristenan sebab penderitaan bukan bagian ciri kekristenan yang memiliki kasih Allah bagi umatnya jadi orang Kristen melimpah baik secara jasmani dan rohani hal inilah probelem yang paling sangat krusial dari konsep kekristenan, jadi untuk melihat lebih jelas pandangan tersebut akan dipaparkan penulis sebagai berikut:

Pandangan Teologi Sukses

Teologi sukses/Gospel of Success muncul sejak pada abad ke-20 yang salah satu pelopor berdirinya ajaran ini adalah seperti Norman Vincent Peale, Robert Schuller, Paul Yonggi Cho dan Kenneth Hagin yang banyak memberi inspirasi dalam mendorong berkembangnya ajaran baru ini, baik itu dalam bentuk karya tulis mereka maupun juga dalam bentuk pelayanan yang mereka berikan kepada para penggemarnya.
Teologi sukses sering juga dikenal dengan sebutan Injil-injil Kemakmuran (Prosperity), kelimpahan berkat/Gospel of  Blessing atau Teologi anak Raja. Gejala-gejala yang kelihatan secara praktis dari ajaran ini dapat dilihat dari bentuk kehidupan para ”penginjil” yang mempopulerkan diri dengan segala bentuk kemewahan duniawi yang ada seperti, bermobil mewah, punya perumahan yang mewah dan sebagainya dan tidak tanggung-tanggung memasang tarif dan fasilitas yang cukup tinggi apabila menerima undangan dalam pelayanan.
 Seterusnya buah lain yang kelihatan dalam gerakan ini kecenderungan untuk berlomba-lomba  menonjolkan kesaksian menerima berkat , sukses dagang, atau kesembuhan setelah memberi persembahan perpuluhan di depan jemaat.
Hampir tidak ada orang Kristen yang tidak dipengaruhi oleh Teologi ini, bahkan yang menolak teologi ini sebenarnya seringkali tanpa sadar atau secara sadar sebenarnya mempraktekkan dan mengakui teologi ini. Tapi teologi ini harus menolaknya, karena merasa teologi ini bertentangan dengan doktrin dan pengajaran di Gereja alirannya.
Salah satu pendukung yang digunakan oleh teologi sukses melawan penderitaan dan mengaharuskan jemaat Tuhan hidup kaya dan berkelimpahan dan ini boleh dikatakan bahwa semboyan utama background atau warna dari teologi ini yang mengharuskan manuisa bebas dari segala penderitaan dalam berbagai dimensi kehidupan, beberapa ayat-ayat favorit digunakan dengan tafsiran harafiahnya antara lain:
Pertama, ”Yoh.10:10b,” ayat ini diartikan sebagai petunjuk bahwa umat Kristen berhak menjadi kaya, hidup dalam segala kelimpahan materi dan duniawi yang berarti banyak uang, hidup berkelebihan dan hidup dengan segala kenikmatan. Jadi jelas ayat ini sudah didiskriminasikan terhadap makna yang sebenarnya sebab melihat konteks tersebut tidak ada petunjuk yang membuktikan bahwa domba-domba memiliki emas, dan juga mutiara yang berharga. [5]
Tapi dengan jelas Firman Tuhan menyebut ayat itu berbicara kelimpahan artinya pemeliharaan hidup oleh Gembala yang digambarkan dengan masuk pintu
( Tuhan) dan memperoleh rumput sebagai karunia keselamatan menuju hidup yang kekal.[6]
Kedua, ”2 Korintus 8:9” di sini juga ada kesalahan penafsiran, yang dimaksud Paulus disini sebagai kelimpahan adalah kaya materi, tapi kaya dalam berbuah
( pelayanan kasih). Ia mencontohkan jemaat Makedonia, yang sekalipun menderita, dan miskin harta namun mereka” kaya dalam kemurahan.’’
Untuk itu melihat dari pernyataan di atas jelas bahwa teologi sukses tidak diterima karena mereka hanya berorientasi pada materi yang tidak memiki nilai pada kekekalan. Dan menunjukkan bahwa teologi ini adalah bukan teologi yang di gali secara eksegese, melainkan ajaran lain yang secara sinkretis dimasukkan  kedalam kekristenan  dengan memanipulasi ayat-ayat Alkitab yang ditafsir secara keliru.
Kata Makmur/sukses sebenarnya dalam bahasa Inggris mempunyai suatu arti umum ”semakin kaya.” Tetapi bila dilihat dari pengertian itu sangat berbeda dengan pengertian dalam perjanjian baru (bahasa Yunani) artinya, kata makmur yang diterjemahkan dari King James Version berasal dari bahasa Yunani, Euodoo, yang terdiri dari dua akar kata, eu, artinya ”baik,” dan hodos, artinya ”jalan,” atau arah, kemajuan, atau perjalanan, bisa diartikan dituntut di jalan yang baik.[7]
Jadi kata eudoo hanya digunakan dua kali dalam perjanjian Baru, dan sama sekali tidak berhubungan dengan banyaknya uang, kekayaan atau keuntungan materi. Memang secara akurat kata ini dapat diterjemahkan menjadi makmur dalam 1 Korintus 16:2, di mana Rasul Paulus mendorong Jemaat dalam mempersiapkan persembahan bagi orang-oarang kudus yang menderita di Yerusalem. Menyarankan mereka menyisihkan sebagian penghasilan mereka tiap minggu supaya mereka tidak mengumpulkan uang ketika ia datang ke Korintus.
Pemujaan mamon yang merupakan inti ajaran teologi sukses, sudah jelas bertentangan dengan berita Injil, yang justru menasihatkan agar tidak mencintai mamon melainkan setialah kepada-Nya. Jadi sebagai murid Kristus harus menentukan sikapnya terhadap kecenderungan duniawi yang materialis dan konsumerisme ini yang di masukkan kedalam ibadat Kristen.
             Pandangan Teologi Pembebasan
Dalam dekade terakhir ini banyak orang membicarakan tentang iman Kristen yang seringkali ada hubungannya dengan teologi kebebasan yang sebenarnya  Teologi kebebasan muncul pertama kali di dunia barat seperti Amerika serikat, Amerika selatan dan Amerika Latin tetapi juga dikenal di Asia dan Afrika. [8]
Teologi pembebasan muncul di mana-mana yang dipelopori juga oleh Gustavo Gutierrez, yang lahir di Peru pada tahun 1928 seorang keturunan Indian Amerika Latin yang merupakan pelopor dan pencentus dasar pemikiran teologi ini dan beliau lahir dari keluarga yang relatif miskin sekali dan berkat kegigihannya pada 1959 menyelesaikan gelar Ph.Dnya dalam bidang teologi dari Universitas Lyon, Perancis dan kemudian ditahbiskan jadi Imam dan Pendeta National Uniaon Of Catolic Student di Peru yang mengawali hidupnya dalam melayani jemaat-jemaat yang miskin di peru dan juga di berbagai Universitas Katolik di daerah tersebut[9]
Latar belakang Teologi Pembebasan
Teologi ini, muncul setelah ketika Gutierrez berhadapan kembali dengan realita kemiskinan dan penderitaan yang dialaminya sehingga ia merasa teologi yang ia pelajari kurang cocok untuk kondisi dimasyarakat yang ia layani. Karena itu ia berusaha mencari teologi yang relevan di tengah-tengah situasi yang  sedemikian.
Dengan alasan bahwa Sikap dan tindakan sosial politik dalam tindakan Gereja Katolik sebagai gereja yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di banyak negara tidak bersifat netral dalam ketelibatannya dalam kancah politik yang ada. Karena sangat mengecewakan, lebih kepada sisi penindasan sehingga berawal dari sinilah teologi yang ditemukan Gutierrez dianggap paling dapat menjawab sebagai solusi dari tantangan yang dihadapi masyrakat pada waktu itu.
Pengertian Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi yang bertitik tolak mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, di mana Allah juga hadir di dalamnya.[10]
Jadi Teologi menurut Guttireazz bukanlah suatu teori yang trasenden  yang tanpa praktis  tetapi adalah suatu refleksi kritikal di mana teologi dapat [11] menjawab tantangan zaman dengan segala permasalahan sosialnya. Teologi Kristen bukan hanya mencari otensitas dasar iman Kristiani, tetapi haruslah memiliki praktis sebagai wujud konkret penghayatan iman.[12]
Dari penjelasan diatas teologi pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke dalam praktis yang tentunya hal ini berlaku ditengah-tengah kondisi dan situasi kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Konsep teologi pembebasan sebenarnya tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakannya tidak juga terjadi begitu saja tetapi penyebab yang menjadi akarnya  pertama munculya pada abad -16 seorang uskup berdarah Spayol, Bartolomerus de Las Casas mengadakan perjuangan untuk membela rakyat yang menjadi korban penindasan orang Spayol.
Pembelaannya yang begitu gigih memperjuangkan hak-hak orang miskin sehingga pelopor Teologi pembebasan ini, belakangan memandang dia sebagai Musa yang memiliki pengaruh yang sangat dalam sekali sehingga, bagi Gutierezz perjuangan itu sangat mewarnai pandangan-pandangan teologisnya.[13]
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan religius secra sekular pada pertengahan abad ke-20  seperti teologi politik di Eropa dan sangat radikal sekali sehingga Gutierezz mengharapkan peran politik praksis sebagai refleksi teologis. Atas peristiwa itu Gutireazz mengartikan Praksis sebagai sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dari kehidupan Kristen.[14]
    Pandangan ini juga diadopsi Marxisme yang tidak hanya merupakan suatu label yang memiliki signifikansi tetapi lebih merupakan suatu alat hermeneutik praksis bahwa kebenaran ada didalam tindakan.[15]
    Guttireazz dan Marxisme memiliki pandangan  yang sama bahwa perlunya refleksi kritikal (menganalisa suatu daerah seperti dalam peristiwa yang terjadi  di daerah Amerika berdasarkan pendekatan, rasio, dan ilmu pengetahuan manusia) inilah yang disebut dengan penafsiran yang sosiologis yang  memasyarakatkan yang dikenal dengan teologi kontekstual jadi pendekatan pengetahuan yang lebih diandalakan untuk memahami sesuatu yang terajdi.
 jadi yang perlu dianalisis terhadap salah satu doktrin teologi ini adalah
Pertama sebagai refleksi kritis dalam komunitas mengarapkan teologi haruslah keluar dari kehidupan iman, yang berusaha ”menjadi otentik ’’ dan sempurna, ketika ia memihak kepada orang miskin dan melibatkan diri kepada perjuangan untuk membebasakan orang dalam penderitaan atas kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan budaya yang ada itulah peran utama dari teologi tersebut. [16]
Kedua Teologi tidak terpisah dari konteks sosial dan kultur atau budaya, dimana teologi itu berlangsung, atau situasi hidup dari masyarakat yang menjadi objek teologi itu sendiri. Dengan kata lain teologi harus kontekstual yaitu terjadi dan berlaku pada tempat dan waktu yang khusus dan tertentu dan tidak secara universal yang dijadikan sebagai patokan secara umum. [17]
Ketiga, adalah teologi pembebasan adalah menekankan  belas kasihan sebagai pusat dari kekristenan,
Keempat ,perlunya spritualitas kekristenan yang semakin membaik yang mensistenkan antara perenungan dan tindakan.
Kelima, manusia sebagai pendukung di dalam perubahan sejarah dan penemuan ulang dimensi eskatologis didalam teologi, yang memberikan peran utama kepada praksis historis, Keenam mengutuk kekayaan harta pribadi, dan mendukung pemberontakan pada kaum miskin.
Ketujuh ”Manusia baru” menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri, dan menebus dirinya sendiri, mengubah arti pertobatan dimana pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang miskin dan yang tertindas, menjadikan Yesus sebagai subversi,  dan teologi ini juga tidak mengakui adanya kejatuhan dan menyangkal kematian akibat kejatuhan.
 Kedelapan menyimpangkan makna kasih dimana, kasih baru berarti apabila ikut dalam    perlawanan terhadap penindas, dan teologi adalah hasil dari reflesi atas praksis yang diwujudkan dalam pengajaran.
Kesembilan yang paling menarik adalah mereka menekankan Keselamatan yang universal( Yoh. 3:16;14:6)[18], bahwa seluruh dunia ada dalam kasih karunia Allah baik yang menolaknya maupun yang menerimanya dan tanpa terkecuali diberikan kepada orang miskin karena, manusia semua bait Allah yang akhirnya manusia bisa bertemu dengan Allah melalui perjuangan pembebasan orang miskin dan yang tertindas jadi semuanya dipanggil untuk bersekutu dengan Tuhan.[19]
Kesepuluh, dalam perspektif teologi pembebasan gereja tidak menyelamatkan dalam pengertian ”menjanjikan sorga” karya keselamatan adalah realita yang terjadi dalam sejarah karena itu keselamatan itu dapat terwujud ketika terjadi solidaritas dengan orang miskin didalam perjuangan mereka, mengerti penyebabnya dan berusaha melepasakan mereka dari penindasan tersebut.
Dengan melihat berbagai pernyataan diatas yang didasarkan atas hermeneutik teologi pembebasan dapat disimpulkan bahwa teologi pembebasan sangat bertentangan dengan Firman Tuhan yang berpura-pura menolong manusia karena lebih mengutamakan kepentingan manusia melalui saran rasio dan ilmu pengetahuan dalam keadan tertentu dan secara tidak langsung mendorong Gereja ikut dalam kancah politik.
Dengan pemikiran Teologi ini tidak bisa diterima karena dalam hermeneutiknya tidak mengakui Tuhan sebagai Pengaharapan sejati yang satu-satunya, dan sepakat dengan konsep Arminian bahwa keselamatan berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dan juga tidak menempatkan Yesus Kristus menurut kebenaran sebagai penebus dan Juruselamat.
 Hal itu melainkan memalsukan Dia sebagai Revoluisoner, akibatnya rakyat miskin tidak diberi pengharapan yang sejati melalui injil atau kabar baik yang menjadi inti utama dari Iman Kristen karena, dalam teologi pembebasan titik tolaknya adalah rakyat miskin sedangkan dalam teologi Alkitab, titik tolaknya adalah selalu Allah dan ini berlaku juga dalam memahami Firman Allah yang sebenarnya.
Dan yang terpenting adalah tujuan teologi pembebasan adalah mereka mewujudakan kerajaan di bumi sebagai firdausnya sebagaimana konsep Israel termasuk para murid Yesus untuk mengalahkan musuh-musuhnya dan menganggap kebenaran yang sejati hanya ada melalui tindakan.[20]

Pandangan Teologi Kenikmatan
Berbicara tentang teologi ini dari seluruh pandangan sumbang yang ada, teologi kenikmatan sedikit dipandang agak lebih rohani karena aplikasinya bagi orang percaya serta dasar-dasar hermeneutiknya sangat jelas.  Sebelum masuk kepada teologi ini ada beberapa pertanyaan penting yang perlu dianalisa misalnya berdosakah manusia ketika mengejar kenikmatan dan kebahagiaan,? di manakah letak keberdosaanya sebenarnya apakah dengan motifasi yang berbeda untuk menikmati sehingga manusia merasa berdosa? dan apakah kenikmatan berakibat buruk bagi kehidupan orang percaya?.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas perlu ketelitian sehingga tidak menciptakan dan mengaburkan apa sesungguhnya yang diharapakan Alkitab pada konteks itu jadi melalui ini, dijelasakan apa defenisi kenikmatan dan bagaimana makna kenikmatan dari sudut pandang Alkitab.
Salah satu dasar Alkitab dari hermeneutik teologi kenikmatan  adalah kitab (Kej. tentang Adam dan Hawa Jatuh ke dalam dosa di taman Eden) dan terus menjadi pola bagi manusia untuk terus berdosa dalam kenikmatannya, jadi di sinilah letak kesalahan manusia ketika memandang kenikmatan yang diberikan oleh Allah bukan kenikmatan yang suci dan kudus, karena manusia lebih puas untuk menetukan kenikmatan bagi dirinya sendiri.
Kata kenikmatan adalah(enjoyment) lebih dekat dengan satu kata di dalam bahasa Yunani, eudaimon, yang artinya ”bahagia.”
Webster sendiri menjelaskan ”kenikmatan” adalah pikiran yang puas; sensasi atau emosi yang serasi; perasaan yang dihasilkan oleh sukacita atau pengaharapan akan kebaikan. Jadi, kenikmatan adalah kondisi ideal yang diharapkan manusia, yang kondisi itu manusia berbahagia dan bisa menikmati hidupnya.[21]

Jadi kenikmatan dalam teologi ini, di bagi dalam dua pertama kenikmatan yang berdosa dan kenikmatan yang suci kenikmatan yang berdosa adalah kenikmatan yang bertentangan dengan penyangkalan diri, kenikmatan ini adalah kenikmatan yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak percaya dimana iblis yang menjadi sumber kenikmatan itu.
                Sementara kenikmatan yang sejati adalah kenikmatan yang dimiliki tanpa membuang penyangkalan diri  melainkan di dalam penyangkalan diri, Kenikmatan ini adalah bersumber dari Allah dan tujuan paling akhirnya adalah Allah.
Oleh sebab itu menanggapi pernyataan di atas bahwa pemahaman akan kenikmatan adalah merupakan berkat dan anugerah Tuhan, tetapi orang yang menerima kenikmatan tentunya kalau menerima kesulitan dalam hidupnya itu juga bagian dari hidupnya karena penyangkalan dirilah yang terpenting dalam keimanan Kristen.
Sebab bukan penderitaan yang membuat seseorang puas, bersukacita, dan menikmati tetapi melainkan ketika orang percaya mengakui dan menganggap, mereka layak menderita bagi Kristus, di beri kesempatan dan anugerah melakukan kehendak Tuhan, karena kepuasan adalah melakukan kehendak Tuhan itulah yang membuat manusia bersukacita dan berpengharapan.[22]
Oleh sebab itu teologi kenikmatan dihubungakan dengan penderitaan tidak bertentangan dengan alasan bahwa orang yang berada di dalam Tuhan juga harus menikmati. Teologi ini sungguh realistis sekali karena sejak penciptaan Tuhan sudah menciptakan kenikmatan, selain kebebasan dari dosa dan penderitaan Tuhan sediakan semua kenikmatan bagi manusia.
Teologi kenikmatan tidak membuang teologi penderitaan dalam kesementaraan, menyadari bahwa penderitaan memiliki nilai keabadian karena Tuhan tidak menciptakan manusia menderita selama-lamanya, justru Tuhan sedang mempersiapkan manuisa untuk kenikmatan itu  sampai selama-lamanya walaupun manusia tidak pernah menyadari bahwa penderitaan itu di ijinkan sebagai suatu alat proses dari Tuhan.
Menikmati dalam Tuhan bisa menuju kepada pengalaman pribadi kepada Tuhan lewat penderitaan, kesulitan dan terpaaan hidup karena ada saatnya menderita dan ada juga saatnya menikmati jadi, keduanya tidak bertentangan sepanjang itu dalam kemuliaan Tuhan karena yang lebih membedakannya adalah bagaimana motifasi seseorang dalam meraihnya sepanjang itu bertentangan maka hal itu akan mendatangkan kebedosaan manusia dihadapan Tuhan.
Jadi Teologi Kenikmatan justru berbeda dengan teologi sukses dalam memaknai penderitaan yang ada karena Teologi kenikmatan menerima adanya penderitaan sebagai suatu proses sedangkan teologi sukses justru menentang penderitaan itu terjadi dalam kehidupan orang yang ada dalam Kristus.

Pandangan Teologi Salib

Teologi salib sering kali disebut dengan teologi penderitaan dimana teologi ini muncul sebenarnya di dunia barat ketika terjadi berbagai penindasan dan penganiayaan  terhadap golongan lemah oleh pemimpin bangsa pada saat itu termasuk Kaisar Nero(54-68) dalam memprovokasi orang-orang Kristen dalam menghacurkan kota Roma pada saat itu.
Teologi salib muncul sebagai satu-satunya ciri universalitas Yesus Kristus sebagai sebuah deklarasi sebagai ajaran kekhasan iman satu-satunya pengantara bagi keselamatan manusia serta kekhasan gereja sebagai satu-satunya komunitas yang menghadirkan Kristus sang penyelamat. Ajaran iman yang dimaksud muncul dengan tantangan relativisme (kebenaran tunggal tidak lagi mendapat maknanya) yang mulai merasuki gereja di tengah konteks masa kini atau post modern saat ini.
Dan salah satu periode sejarah gereja yang penting dan sangat relevan dengan teologi penderitaan adalah kemunculan gaya hidup asketisme(menjauhi semua kenikmatan dunia) yang tercermin dalam sikap kebiaraan dengan menjual seluruh harta demi untuk memperjuangkan hidup rakyat miskin.[23]
                Adapun konsep penganut teologi salib tentang makna penderitaan yang sudah dipengaruhi oleh ajaran gnostik pada abad ke-2 ini, dalam memberantas kemiskinan dengan berbagai cara sebagai berikut: Pertama, dengan cara bertapa, dan menguburkan tubuhnya di tanah sampai dileher dengan berbulan-bulan.
Kedua, membiarkan diri disengat oleh serangga, inilah praktik-praktik kebiaran yang dianggap benar dan membebaskan mereka dari penderitaan dengan sikap inilah meraka bisa menyesali perbuatan mereka, Ketiga adalah konsep dualisme yang menganggap bahwa tubuh adalah materi dan non materi adalah spritual baik karena tubuh ini adalah jahat.
Keempat beberapa teks Alkitab dianggap mengajarkan penderitaan, misalnya
(1 Kor. 7:8, ) penjualan kekayaan, (Mat. 19:21; Mrk. 10:2 dan Luk.18:22, ) ”jalan keselamatan yang sempit” semua ini dilakukan orang-orang Kristen sebagai bentuk baru dari hidup menderita bagi Kristus, setelah sebelumnya mereka menderita dalam bentuk penganiayaan.
Tindakan ini didorong oleh motifasi yang menurut mereka baik yaitu hidup kudus dan kehidupan rohani jadi sempurna, karena mereka menyadari kesenangan duniawi sangat berbahaya, (1 Yoh. 2:16) sebagai protes dari tekanan yang dihadapi oleh orang Kristen, mereka mengikuti Allah tanpa memusingkan dengan keuntungan jasmani yang diperoleh mereka berani menderita demi Kristus dengan berbagai cara. [24]
Untuk itu menanggapi praktek yang mereka lakukan untuk memahami konsep penderitaan bagi Kristus terlepas dari semuanya itu jelas sangat menyimpang dari prinsip Firman Allah, konsep dualisme yang merupakan konsep tentang Allah adalah jelas salah. 
Berkaitan dengan pengertian ”jalan yang sempit” dari pemahaman di atas di sini tidak mengajarkan asketisme, sesuai dengan konteks yang ada artinya di harapkan suatu karakter pemuridan yang tangguh dalam pelayanan terhadap Tuhan, berarti menjadi murid harus rela membayar harga seperti apa yang diteladankan guru-Nya dalam aspek peristiwa apapun bukan mencari-cari penderitaan dan memaknai penderitaan itu dengan cara menyiksa hidup dengan cara apapun.
Seterusnya tentang makna Lukas 18:22 dengan kata lain bukan jual semua tetapi yang terpenting bagaimana mengikut Kristus karena melihat bahwa harta yang menjadi pengahalang satu-satunya untuk melayani. Jadi ini tidak bisa diaplikasi bagi kehidupan orang Kristen untuk menjadi sempurna kelemahan lain juga yang terlihat dari teologi salib ini adalah tidak bisa memahami tujuan Allah secara rohani bahwa dalam penderitaan harapan dan masa depan ada ditangan Tuhan karena semua yang terjadi tentu ada dan berada dengan sepengetahuan Tuhan.
Dengan melihat praktek yang mereka lakukan jelas melanggar ketetapan dalam Alkitab dan ini merupakan dosa terbesar di hadapan Tuhan karena merusak hidup sebagai bait Roh Kudus untuk dijaga dan untuk kemuliaan-Nya bandingkan(Rm. 12:1-2).
    Berbeda juga dengan konsep Mormonisme memahami makna penderitaan sebagai sesuatu cerminan dari apa yang dialami oleh Kritus. Sejarah Mormon atau yang sering dikenal dengan Gereja Yesus Kristus orang-orang suci zaman akhir yang dipimpin oleh hambanya Joseph Smith yang sekaligus menamakan diri sebagai nabi atau pelihat Tuhan yang sudah mendapat wahyu dari Allah untuk membuat dan mengemukakan  ajaran-ajaran barunya di luar kekristenan yang ada di bumi ini yaitu, menegakkan masa kelegaan terbesar di atas bumi yang di kenal dengan lahirnya Gereja sejati Tuhan di atas bumi ini. [25]
Joseph Smith lahir 23 Desember 1805 di Sharon Amerika anak kelima dari sebelas bersaudara, dan mengakhiri masa kejayaannya di penjara di Carthage pada usia 38 tahun pada 1844, Joseph Smith tergolong muda ketika dia meniti karir dalam pelayanan hampir sama dengan umur hambanya Timotius kurang lebih di atas umur16 tahun dan disini pekerjaan Joseph Smith cukup pesat dikenal keseluruh dunia.
Pandangan Presiden Gereja tentang penderitaan baik itu penganiayaan yang terjadi oleh karena nama Yesus dari orang-orang  yang tidak berlandaskan kebenaran di bagi dalam dua dimensi yaitu:
Pertama penderitaan yang terjadi akibat tuduhan palsu dari orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, dan Kedua adalah penderitaan yang terjadi oleh karena memberitakan kebenaran dan kesalehan.  Presiden Gereja mengambil satu kesimpulan bahwa keduanya itu terjadi dan dilalui oleh orang-orang suci zaman akhir yang merupakan perkataan para nabi yang telah diucapkan sejak dunia dijadikan.
Di samping itu juga presiden gereja mendasari argumentasi teologinya dengan Injil Yohanes 15:20 ”janganlah heran, karenanya, jika anda dianiaya; tetapi ingatlah firman juruselamat: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya.” Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu dan semua ini akan dipalingkan dari kita sejauh kita tetap setia dan, di sana akan melihat anugerah Tuhan dan kerajaannya semakin meningkat.
Dengan melihat dasar argumentasi yang telah dinyatakan di atas sangat berbeda dengan konsep pandangan teologi sukses dan kemakmuran, serta teologi pembebasan yang mana konsep teologi Presiden Gereja penderitaan mengartikannya sebagai cerminan dari apa yang dialami Tuhan Yesus dua ribu tahun yang lalu seperti Yesus Kristus juga teraniaya oleh orang-orang tidak mengakuinya jadi, dalam hal pelayanan untuk menyatakan kebenaran akan terjadi dalam kehidupan zaman akhir justru inilah kriteria dalam memperjuangkan nilai-nilai kristiani yang sejati dalam mewujudkan agama yang sejati.
Sebab itu, sebenarnya apa yang sudah dikemukakan oleh ajaran di atas sejauh ini, tidak menyimpang tetapi dari aspek doktin yang lain apa yang di kemukakan oleh presiden gereja sangat bertentangan hal ini dapat dilihat dari testimoninya (kesaksian) bahwa dia adalah nabi pelihat yang sudah mendapat mandat dari Tuhan dan bisa melakukan hal-hal yang sangat spektakuler lainnya sehingga berawal dari sinilah ajaran ini tergolong sesat dan tidak diterima oleh gereja pada umumnya.
Jadi pengertian penderitaan menurut presiden gereja hampir sama dengan pandangan-pandangan gereja pada umumnya dan hal ini menjadi kesimpulan yang di yakini penulis dari apa yang telah di konsepkan oleh bidat ini. 

Pandangan Teologi Eksistesialisme

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat tentang manusia, dimana manusia harus bereksistensi/keberadaan, serta mengkaji cara manusia hidup di dunia ini. Jadi dalam hal ini manusialah yang menentukan keberadaan dirinya sendiri dan bagaimana menempatkan dirinya sendiri tanpa pengaruh siapapun.
Antroplogi eksistesialisme ini dikembangkan melalui pemahaman dan konsep Kierkegaard (1813—1855), seorang pemikir Denmark yang sangat saleh. Gaar menuduh gereja negara Lutheran mengaburkan kekristena yang sejati, karena sama sekali tidak menitikberatkan keadaan manusia sebagai seorang berdosa di hadapan Allah, rasa bersalah penderitaan batin, dan putus asa menurut Gaar sangat penting untuk dialami oleh seseorang sebelum dapat menjadi Kristen, yang oleh Kierkegaard dilihat sebagai realita manusia yang fundamental. [26]
Menurut Eksistensialisme dengan manusia melibatkan diri dalam dunia dengan menderita, dan bergumul, manusia mendapat arti hidup sedikit demi sedikit artinya menurut pandangan ini, manusia hanya ”berada” sebagaimana ia menciptakan dirinya dengan memutuskan untuk bertanggung jawab atas keberadaanya dan menegaskan diri menghadapi tantangan –tantangan hidup dan panggilan menuju kebebasan.
Melihat dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Teologi Eksistesialisme tidak memiliki dasar teologi yang tepat dan cenderung kearah ateis yang tidak mengandalkan Tuhan dalam setiap hidup manusia sehingga kebenaran semakin dikaburkan dan membawa manusia terpisah dengan Tuhan dan tidak bergantung kepada pencipta karena lebih mengandalkan pribadi atau kesadaran secara individual, bisa lepas dari semua derita serta tidak mengenal sang penebus yang dapat mengangkat manusia dari keadaan yang tanpa arti menjadi berarti sehingga manusia bisa mengisi kehidupan dengan Tujuan akhir dalam pelayanan kerajaan Allah yang kekal.
Alkitab mengajarkan bahwa manusia makhluk ciptaan Allah yang diciptakan menurut gambar-Nya dan rupa-Nya, bukan suatu kejadian kosmis yang kebetulan saja dan hidupnya memiliki akhir dan tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri kecuali bergantung sepenuhnya kepada pencipta-Nya.













           











                    [1]Herlianto, Teologi sukses: antara Allah dan Mamon, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 1-2.

 [2]Ibid, 3
 [3] Herlianto”Anak Raja” dalam Gospel of Success, peny.,  Tri Atmo Yuwono dan Rika Uli, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009 ), 6: 3.

                    [4]Erastus Sabdono, Membangun Umat Kerajaan Sorga dalam Kebenaran: Sekolah Kehidupan, Penerbit (Jakarta: Solagracia, 2009), 2.
[5]Herlianto, Antara, 3
  [6]Herlianto, Antara, 44

                [7] Jim Bakker, Teologi Kemakmuran dan kedatangan Tuhan:Bahaya di balik Kekristenan yang materialistis, (Jakarta: Metanoia, 2005), 38-39.
                   [8]John Campbell Nelson, Implikasi Teologi Pembebasan Terhadap Misiologi dalam mengupayakan misi Gereja yang Kontekstual(Jakarta: Perhimpunan Sekolah Teologi Di Indonesia, 1995), 69.
[9] Nelson, implikasi, 71

                   [10]R.M Brown, Spritualitas Pembebasan : Refleksi atas Iman Kristiani dan Prasktis Pastoral
 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 105

                  11Wardana, Spritualitas Pembabasan, 106.

                  12Gustavo Gutierrez,  The World in a Trasnlation Age ( Century Theology : 1920 ), 216-217.       

            

[14]David Pan Purnomo, Menjawab pertanyaan Kontemporer, peny., Hasan Sutanto. (Malang: SAAT, 2001), 8

[15]Alan F. Johnson , Tensionn in Contemporary Theologi (Chicago: Moody, 1976), 402

                   [16]Yewangoe , Implikasi Teologi Pembebasan Terhadap Misiologi dalam mengupayakan misi Gereja yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah Teologi Di Indonesia, 1995),72.

                   17Gren, The World in a Translation Age ( Century Theology : 1920 ), 214-217.
            



[18]D. Hesselgrave, Kontektualisasi makna, metode dan model (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1994), 116.
                   [19] Werdana, Spritrualitas Pembebasan, 70
 [20]Eta Linnemann,Teologi Kontemporer: Ilmu atau Praduga, ( Batu : Yayasan Literatur PPII, 2006), 192-193.
[21]Webster, Pencarian Kenikmatan (Jakarta: Solideo Ministry, 2007), 2.
[22]Baron Athur,  Artikel pandangan teologi Kenimakmatan:Mari Menikmati, (Jakarta: Solideo Ministry, 2007), 80.
[23]Meril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2000), 81
[24]C.T. Marshall, Artikel Pandangan Teologi Salib: monasticisme, (Evangelical Dictionary of  Theologi. t. t), 728
[25]Josepth Smith, Ajaran-Ajaran Presiden Gereja, Peny., Inteletual Reserve, (USA: Gereja Yesus Kristus dari  orang-orang suci  zaman Akhir, Lake City: 2007), 1.
[26]Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (BPK: Gunung Mulia, 2002 ), 157-158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar